Saat ini, katanya melanjutkan, memang sulit memberantas wartawan abal-abal. Karena dia bukan bakteri. Wartawan abal-abal ini bisa dilihat dari perilaku dan produk beritanya.
Kalau beritanya salah, maka akan ketahuan bahwa wartawannya abal-abal dan tidak memahami tentang jurnalistik. Sedangkan perilakunya, bisa dilihat dari dia sebagai masyarakat dan sebagai wartawan.
“Kalau kami di PWI, selain ada kode etik wartawan, juga ada kode perilaku. Karena, wartawan itu tidak hanya menjaga kualitas beritanya, tapi juga menjaga perilakunya. Itulah aturan yang dikeluarkan PWI. Kode perilaku ini harus dijaga oleh semua anggota PWI di mana pun,” bebernya.
Heranof pun juga mengajak semua instansi, baik pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta untuk tidak perlu melayani wartawan abal-abal, termasuk untuk negosiasi.
“Sejatinya, wartawan itu bukan negosiator, wartawan itu adalah pewarta atau mencari berita untuk dilaporkan. Kalau ada wartawan abal-abal, sebaiknya tidak perlu dilayani,” ujarnya.
Saat ini, sebut Heranof, Dewan Pers terus gencar melakukan verifikasi media dan sertifikasi wartawan guna menghilangkan terminologi wartawan abal-abal.
Dan, memang diakuinya, istilah wartawan abal-abal ini sulit dihilangkan. Karena, perkembangan wartawan di era digitalisasi saat ini seperti jamur di musim hujan.
“Jumlah wartawan beriringan dengan jumlah media tempat wartawan bekerja. Tentunya, ini butuh waktu yang panjang bagi Dewan Pers untuk melakukan verifikasi terhadap media dan juga wartawannya, meskipun sudah ada organisasi dan lembaga pendidikan yang memiliki izin dari Dewan Pers untuk melakukan sertifikasi kepada wartawan,” katanya.
Di Indonesia, sebutnya, ada beberapa organisasi yang diberikan izin untuk menyelenggarakan uji kompetensi wartawan atau UKW, yaitu PWI, AJI, IJTI dan juga organisasi media online seperti AMSI dan SMSI, termasuk RRI dan beberapa perusahaan pers. Bahkan di Sumbar, Harian Singgalang dan Padang Ekspres boleh menyelenggarakan UKW.
Namun yang disayangkan, di tengah adanya banyak organisasi dan perusahaan pers yang tersebar di Indonesia mendapatkan izin dari Dewan Pers untuk menyelenggarakan UKW, ternyata ada juga lembaga yang mengeluarkan sertifikasi untuk wartawan. Lembaga ini sudah 2 tahun mengeluarkan sertifikasi untuk wartawan.
Dewan Pers, sebut Heranof, sudah mengeluarkan sikap usai melakukan pertemuan dengan organisasi wartawan. Hasilnya, Dewan Pers meluruskan, bahwa sertifikasi wartawan harus dilakukan oleh lembaga Pers, tidak bisa oleh lembaga yang mengurus semua lapangan pekerjaan seperti lembaga tersebut.
Sikap Dewan Pers ini juga ditegaskan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Usman Kanson, yang menyatakan bahwa Dewan Pers sebagai satu-satunya lembaga yang sah dan diakui pemerintah dalam melakukan uji kompetensi wartawan.
“Wartawan itu profesi yang unik dan tersendiri. Lembaga itu sertifikasi untuk orang yang sedang mencari pekerjaan atau akan bekerja. Kalau wartawan kan dia sudah bekerja dan hanya butuh disertifikasi.”
“Dan, sertifikasi itulah yang dikeluarkan Dewan Pers melalui organisasi pers. Jadi, tidak bisa sertifikasi wartawan dikeluarkan oleh lembaga lain,” tutupnya. (rdr)