Para arkeolog menduga tempat duduk toilet pernah dikelilingi dinding batu dan atap, meskipun kehadiran serbuk sari di udara dari buah dan pohon pinus menunjukkan mungkin ada jendela atau tanpa atap. Kemungkinan tumbuhan seperti pohon pinus digunakan sebagai semacam pengharum ruangan. Bagaimanapun harumnya toilet kecil tersebut, keberadaan parasit menunjukkan kondisi sanitasi pada saat itu buruk.
Di bawah kursi toilet batu kapur, analisis telah mengungkapkan sedimen purba yang mengandung telur dari empat jenis cacing usus berbeda. Terdapat telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) paling banyak ditemukan di lokasi tersebut.
Kedua jenis parasit usus tersebut dianggap dapat menginfeksi manusia, hingga menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada kasus paling parah. Kedua parasit itu juga cenderung dapat menular ke manusia, ketika jejak kotoran manusia yang mengandung cacing parasit atau telurnya tak sengaja tertelan.
Begitu berada di dalam usus, parasit mampu menghasilkan ribuan telur sehari di inang manusia mereka. Tanpa obat-obatan, pemberantasan infeksi dalam suatu populasi dianggap sangat sulit dilakukan, terlebih tanpa sistem pembuangan kotoran atau fasilitas cuci tangan yang bersih.
Dengan begitu, keberadaan cacing gelang dan cacing cambuk di kotoran elit Yerusalem menunjukkan bahwa kotoran manusia diproses dengan cara yang tidak sehat. Para peneliti memprediksi kotoran manusia dimasukkan ke dalam sumber air, atau dibuang ke tanaman, sebelum akhirnya kembali ke manusia.
Cacing pita (Taenia sp.) juga sebelumnya ditemukan di tangki septik fosil, dan karena parasit ini memiliki penularan pada daging sapi dan babi, mereka mungkin telah memasuki sistem manusia melalui daging yang tidak dimasak dengan baik. Telur terakhir yang ditemukan di situs tersebut berasal dari cacing kremi (Enterobius vermicularis), hal itu berdasarkan catatan awal dari parasit ini di Yerusalem kuno.
Dikutip Heritage Daily, cacing kremi diketahui dapat menyebar ke manusia melalui kontaminasi tinja di tangan, serta juga bisa melayang di udara. Beberapa peneliti menduga cacing primata yang menginfeksi ini telah mengganggu manusia sejak awal keberadaan manusia. Namun karena telurnya sangat ringan dan bertekstur halus, mereka tidak sering terekam dalam catatan arkeologi.
Saat ini, cacing pita, cacing kremi, cacing cambuk dan cacing gelang masih merupakan infeksi umum di seluruh dunia, tetapi ketika obat-obatan dan fasilitas sanitasi tersedia, penyebaran dapat dicegah. “Studi seperti ini membantu kami mendokumentasikan sejarah penyakit menular di daerah kami dan memberi kami jendela ke dalam kehidupan orang-orang di zaman kuno,” kata arkeolog Dafna Langgut dari Universitas Tel Aviv di Yerusalem, dikutip Science Alert. (cnnindonesia.com)