“Jadi di sini aku berdiri di hadapan Islam dan ia adalah kebenaran. Aku tak bisa menyangkal bahwa Islam merupakan kebenaran. Namun, aku belum siap menjadi seorang muslim,” tegasnya.
Akan tetapi, Maya merasa sekadar mempelajari Islam belum cukup untuk dirinya mengenal Sang Pencipta. Terlebih, ia meyakini bahwa Islam adalah jalan hidup yang sudah seharusnya ia jadikan sebagai jati diri. Perasaan ragu masih ada di benak Maya dan itu hal wajar. Sehingga Maya mulai menjalani komitmen dengan menjalani ‘Masa Percobaan’.
“Aku berencana melakukan percobaan guna mengetahui apakah aku mampu untuk menjalankan apa yang diwajibkan oleh Islam padaku. Diawali dengan hal yang mudah kulakukan seperti berhenti mengonsumsi daging yang diharamkan. Karena aku seorang vegetarian, itu tidak terlalu sulit bagiku. Kemudian berhenti minum alkohol lalu berhenti mengunjungi kelab malam yang merupakan bagian penting dari kehidupan sosialku,” tuturnya.
Ia pun mulai mengenakan pakaian yang lebih sopan dan secara perlahan merasa mampu menjalaninya. Meski begitu, keraguan masih melanda karena merasa ini akan jadi komitmen seumur hidup pada Allah sehingga butuh waktu lama untuk memiliki keberanian menjadi mualaf. Hal itu khususnya keberanian untuk memberitahu keluarga tercinta.
“Dan Allah berada di tempat di sisiku, juga ketakutanku hilang. Ketakutanku adalah memberitahu keluargaku. Selama beberapa pekan aku tak bisa memberitahu ibuku. Kemudian jelang Ramadhan, aku ingin masuk Islam, aku ingin puasa di bulan itu serta ingin merasakan nuansa Ramadhan. Jadi beberapa pekan sebelum Ramadhan, aku mengumpulkan nyawa untuk memberi tahu beliau,” tuturnya.
“Alhamdulillah beliau menerima, beliau hanya bertanya mengapa. Kami tidak diskusi panjang karena kami bukan keluarga yang membicarakan hal-hal secara mendalam. Namun aku merasakan kelegaan,” imbuhnya.
Secara perlahan pula, keinginan berhijab terlintas di benaknya dan mulai mempelajari soal itu. Pada awalnya, Maya belum memahami konsep Islam dan apa keperluan hijab bagi muslimah. Seorang teman menjawab konsep hijab dengan analogi permen yang dibungkus dan tidak dibungkus. Perlahan tapi pasti, Maya memahami konsep hijab.
“Ini bukanlah sesuatu yang diajarkan padaku selama ini bahwa ini yang apa diinginkam kaum laki-laki, namun ini adalah apa yang Allah inginkan. Ini merupakan perlindungan dan pengaman kami. Aku tak mau pergi keluar rumah tanpa hijab. Menurutku, aku mulai mencintai hijab,” bebernya.
Mirisnya, ketika Maya memberitahu sang ibu, ia mendapat cemooh dengan tangisan ibu di hadapanmya. Melihat ibunya menangis karena ia memakai hijab, membuat Maya merasa sakit. Terlebih, sang ibu menyebut bahwa hijab hanyalah bentuk penindasan pada perempuan.
Maya memilih diam. Karena meski ia sudah memahami konsep hijab, Maya belum mampu mengutarakannya secara jelas dan detail. Hal itu yang akhirnya membulatkan tekad Maya untuk memakai hijab dan keluar dari rumah. Hingga akhirnya, ujian dari Allah itu berhasil ia atasi di momen wisuda.
“Akhir dari perseteruanku dengan keluarga saat wisuda. Semuanya ada di sana dan aku sembunyi karena memakai hijab. Ada keterkejutan dan prihatin di wajah mereka tapi tersirat penerimaan. Saat itulah aku tahu bahwa melalui semua ujian itu, akan ada cahaya di ujung terowongan,” pungkas Maya. (viva.co.id)