Puasa di Bulan Muharram Paling Utama Setelah Puasa Ramadhan

Karena bulan Muharram ini begitu istimewa, pada bulan ini juga terdapat beberapa amalan istimewa, di antaranya adalah berpuasa pada seluruh hari di bulan Muharram.

ilustrasi puasa muharram. (dok. istimewa)

ilustrasi puasa muharram. (dok. istimewa)

RADARSUMBAR.COM – Bulan Muharram merupakan bulan agung dalam Islam. Bulan ini menjadi bulan permulaan pada kalender Hijriah dan termasuk salah satu dari empat bulan hurum, bulan-bulan yang dimuliakan.

Karena bulan Muharram ini begitu istimewa, pada bulan ini juga terdapat beberapa amalan istimewa, di antaranya adalah berpuasa pada seluruh hari di bulan Muharram.

Pada satu kesempatan, Rasulullah pernah bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ ؛ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ ؛ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa paling utama setelah Ramadhan adalan berpuasa di bulan Allah, yaitu Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibn Majah, Darimi, dan Ahmad)

Mengenai penjelasan hadits di atas, ulama menyoroti kata syahrullah yang berarti “bulan Allah”. Julukan ini menandakan keagungan bulan Muharram. Kemudian, sebagian kecil ulama ada yang memahami bahwa maksud puasa di bulan Muharam adalah puasa Asyura saja, bukan seluruhnya.

Sementara itu, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan bahwa ternyata, puasa di bulan Muharram tidak hanya pada hari ke sepuluh saja yang populer disebut puasa Asyura atau Suro.

Menurutnya, hadits di atas menunjukkan keutamaan berpuasa sunnah pada seluruh hari di bulan Muharram. Bahkan dengan jelas hadits di atas menunjukkan bahwa puasa di bulan Muharram adalah puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan.

Lalu, pertanyaannya, mengapa dalam riwayat lain justru menunjukkan Nabi SAW memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, bukan di bulan Muharram? Berikut hadits selengkapnya:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا.

Dari Abu Salamah ia berkata, saya pernah bertanya kepada Aisyah Ra. tentang puasa Rasulullah SAW, maka ia pun berkata, ‘Rasulullah SAW sering berpuasa hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa seterusnya. Dan beliau sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengira beliau tidak puasa terus-menerus. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.” (HR. Muslim)

Terdapat dua jawaban dari Imam an-Nawawi terkait persoalan ini. Pertama, menurutnya boleh jadi, Nabi SAW baru mengetahui keutamaan puasa Muharram di masa akhir hayatnya, beberapa saat sebelum wafat.

Kedua, boleh jadi pada bulan Muharram Nabi terhalang udzur, baik karena sering sakit atau sering melakukan perjalanan di bulan Muharram sehingga puasanya tidak sesering puasa di bulan Sya’ban. Wallahu A’lam. (rdr/mui)

Exit mobile version