RADARSUMBAR.COM – Momentum bulan Muharam, terlebih hari Asyura atau tanggal 10 Muharam, sering dimanfaatkan untuk bersedekah dengan memberi santunan kepada anak yatim. Ibadah ini adalah wujud welas asih kepada mereka karena memang sangat dianjurkan dalam islam.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW memberikan perhatian khusus kepada mereka yang mau mengurus anak yatim dengan kedekatan kedudukannya dengan Nabi di Surga kelak, sebagaimana disampaikan dalam satu hadits,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Artinya, “Aku dan orang yang mengurus anak yatim di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.” (HR. Imam Al-Bukhari).
Imam Al-Munawi (wafat 1031 H) dalam kitabya, Faidul Qadir menjelaskan maksud dari ‘kafilul yatim’ adalah mengurus urusannya dan kemaslahatannya termasuk memberikannya harta (santunan) atau memberikan harta yang memang menjadi haknya baik ia merupakan kerabat ataupun bukan.
Kiranya hadits ini beserta penjelasannya sudah cukup untuk menjelaskan keutamaan seorang menyantuni anak yatim dengan hartanya. Namun demikian, bolehkan menyantuni anak yatim non muslim mengingat negara Indonesia adalah negara yang majemuk?. Berikut ulasannya.
Menyantuni anak yatim dalam bahasa fikih dikenal dengan istilah sedekah atau hibah. Terkait dengan hukum sedekah atau hibah kepada non-muslim Allah swt berfirman dalam surat Al-Insān ayat 8:
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا
Artinya, “Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.”
Al-Khozin (wafat 741 H) menjelaskan ayat tersebut dalam tafsirnya sebagai berikut.