Salah satu aspek yang membuat shalat begitu suci dalam Islam adalah fakta bahwa ibadah ini diturunkan secara langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad di malam Isra dan Mikraj.
Peristiwa penurunan pertama mengenai kewajiban shalat terjadi pada Malam Isra dan Mi’raj, ketika Nabi Muhammad diberangkatkan oleh Allah untuk melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsa di Yerusalem, dan kemudian naik secara luar biasa ke Sidratul Muntaha.
Di dalam perjalanan tersebut, Nabi Muhammad menerima instruksi langsung dari Allah untuk mempersembahkan shalat.
Ini merupakan titik awal di mana shalat menjadi kewajiban bagi seluruh umat Muslim. Untuk itu, penurunan shalat langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad menjadikan shalat sebagai ibadah yang sangat istimewa dan berharga.
Ibadah ini bukanlah sekadar kewajiban fisik, tetapi juga merupakan cara untuk menyucikan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan merenungkan kebesaran-Nya.
Melalui shalat, umat Muslim mengalami momen intim dengan Sang Pencipta, mengakui ketergantungan mereka kepada-Nya, dan memohon petunjuk serta ampunan.
Syekh Sulaiman bin Umar al-Jamal, dalam kitab Futuhat al-Wahhab bi Taudihi Sayrh Manhaji at-Tullab, jilid 1, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 263 mengatakan shalat adalah ibadah yang agung, yang diberikan Allah langsung pada Rasulullah.
Shalat juga ibadah yang suci, dan harus dilaksanakan dalam keadaan suci. Rahasia keagungan shalat ini, dimaksudkan agar manusia dan malaikat mengetahui keagungan dalam shalat.
وَمِنْ شَأْنِ الصَّلَاةِ أَنْ يَتَقَدَّمَهَا الطُّهْرُ نَاسَبَ ذَلِكَ أَنْ تُفْرَضَ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ وَلِيَظْهَرَ شَرَفُهُ فِي الْمَلَأِ الْأَعْلَى
Artinya; “Salah satu hal yang penting dalam salat adalah bahwa ia harus diawali dengan kesucian. Hal ini sesuai karena salat diwajibkan dalam keadaan suci. Dan ini juga untuk menunjukkan kemuliaan shalat dapat terlihat di hadapan para malaikat.”
Ketiga, shalat adalah self control seorang muslim. Sejatinya, melalui shalat seorang Muslim diharapkan akan lebih dekat dengan Allah, memiliki kesadaran spiritual yang lebih tinggi, dan mengembangkan sikap moral yang baik.
Shalat juga membantu menjaga kedisiplinan dan pengendalian diri, serta mengingatkan umat Muslim untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perilaku yang buruk.
Untuk itu, dalam Islam shalat memiliki berbagai makna dan manfaat, termasuk dalam mencegah perbuatan nahi dan munkar.
Dalam konteks mencegah nahi dan mungkar, shalat juga dapat membantu seseorang menjadi lebih peka terhadap kebutuhan sosial dan moral masyarakat di sekitarnya.
Seorang Muslim yang rajin melaksanakan shalat diharapkan akan lebih cenderung bertindak untuk mencegah tindakan buruk, mempromosikan kebajikan, dan berkontribusi positif dalam masyarakat.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al Ankabut [19] ayat 45, Allah berfirman;
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Artinya; “Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Abdul Karim ibn Hawazin Qusyairi al-Naisaburi dalam kitab Tafsir Lataif al-Isyarat, Jilid 3, shalat dalam Islam memiliki banyak manfaat, termasuk mencegah diri dari melakukan perbuatan yang dilarang Allah.
Shalat memiliki self control, yang mampu mengarahkan manusia pada jalan kemuliaan. Ia berkata;
ويقال بل الصلاة الحقيقة ما تكون ناهية لصاحبها عن الفحشاء والمنكر فإن لم يكن من العبد انتهاء فالصلاة ناهية على معنى ورود الزواجر على قلبه بألا يفعل، ولكنه يصرّ ولا يطيع تلك الخواطر.
Artinya; “Dan dikatakan bahkan shalat yang sejati adalah yang mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Jika seorang hamba tidak mencapai tingkat pencegahan ini, maka shalat masih memiliki fungsi sebagai pengingat bahwa larangan-larangan itu ada di dalam hatinya, meskipun ia masih melawan dan tidak taat terhadap pikiran-pikiran buruk tersebut.”
Lebih lanjut, jika seorang yang shalat tidak mampu mengendalikan dirinya pada keburukan, misalnya ia tetap melakukan korupsi, mencuri, dan membuat keresahan di tengah umat, maka shalatnya baru sebatas ritual rutin saja, tanpa menyentuh makna substansial dari perintah shalat.
ويقال بل الصلاة الحقيقية ما تنهى صاحبها عن الفحشاء والمنكر. فإن كان- وإلا فصورة الصلاة لا حقيقتها ويقال الفحشاء هي الدنيا، والمنكر هو النّفس.
Artinya; “Dan dikatakan, Bahkan, salat yang sejati adalah yang mencegah orang yang melaksanakannya dari perbuatan keji dan kemungkaran. Jika demikian – jika tidak, maka salat hanyalah sebuah ritual tanpa hakikatnya. Dan dikatakan bahwa Perbuatan keji adalah dunia, dan kemungkaran adalah nafs (jiwa yang cenderung kepada keburukan).” [halaman 99]. (rdr/nu)