Rakor Abal-abal, Bank Nagari dan Penjilat

Isa Kurniawan. (IST)

Isa Kurniawan
(Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas))

Terbatas soal Rapat Koordinasi (Rakor) Pemprov Sumbar dengan para kepala daerah se Sumbar, di Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, pada tanggal 6-7 Maret 2022 lalu, saya mendukung apa yang disampaikan oleh Bupati Solok Epyardi Asda, bahwa “Rakor Kepala Daerah se Sumbar Dinilai Hanya Abal-abal dan Pencitraan untuk Mahyeldi”.

Yang menjadi pertanyaan itu, apa sih hasil Rakor tersebut, selain berita-berita Gubernur Mahyeldi menyelam, kemudian meninjau/melihat bandara Rokot? Jadi, betul apa yang disampaikan Bupati Epyardi, acara Rakor tersebut hanya seremonial belaka. Tidak terdengar keputusan-keputusan strategis yang dihasilkan.

Kemudian melihat kepala daerah yang minim kehadirannya, ini lampu kuning bagi Gubernur Mahyeldi untuk merubah pola komunikasinya, sehingga wibawanya tidak semakin terpuruk. Termasuk menertibkan anak buah yang sok belagu. Kalau bagus komunikasinya, tidak akan seperti itu sikap Bupati Epyardi yang frontal.

Walaupun tema Rakor adalah mengenai pariwisata, tetapi permasalahan jalan pinggir pantai dari Muara Padang ke bandara BIM, yang menjadi tanggungjawab provinsi, apa ikut dikoordinasikan dengan Pemko Padang, dan dibicarakan di Rakor? Apa akan dibiarkan mangkrak, cukup sampai di belakang Hotel Pangeran itu saja?

Tanpa adanya gembar-gembor, Pemkab Pasaman dan Pemkab Limapuluh Kota sudah menandatangani perjanjian kerjasama untuk membangun jalan antar kabupaten, dari Bonjol (Pasaman) ke Koto Tinggi (Limapuluh Kota). Apakah ini sudah termasuk dalam koordinasi Pemprov Sumbar, dan dibicarakan pula di Rakor?

Apakah perencanaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Mentawai yang direncanakan di zaman Gubernur Irwan Prayitno ikut dikoordinasikan dengan Pemkab Kepulauan Mentawai, dan dibahas di Rakor? Dan banyak lagi persoalan-persoalan strategis lainnya untuk dikoordinasikan, seperti jalan antar kabupaten, jalan tol Padang-Pekanbaru, Main Stadion, Bank Nagari dan lain sebagainya, apa dibicarakan di Rakor?

Kemudian, mencermati pernyataan Gubernur Mahyeldi, yang menyuruh mundur direksi Bank Nagari kalau tidak setuju konversi, secara vulgar ke publik, semakin memperlihatkan ada yang salah dengan pola komunikasi Mahyeldi. Bank Nagari itu bukan OPD yang bisa seenak perut saja dimarahi seperti anak-anak. Secara teknis kalau soal konversi, saya sangat yakin selesai sama para direksi, karena mereka itu para profesional.

Tapi konversi Bank Nagari menjadi syariah itu kan proses politiknya yang lebih mengedepan karena berhubungan dengan perda oleh DPRD Sumbar (lembaga politik), dan persetujuan pemegang saham kabupaten/kota, dimana bupati/wali kota itu merupakan jabatan politik. Karena secara politik konversi Bank Nagari itu tersendat, maka jangan “awak nan indak pandai manari, dikecekkan lantai nan manjongkek”.

Direksi itu “boss”-nya adalah para pemegang saham. Dan Pemprov Sumbar itu hanya memiliki 31 persen saham, tidak mayoritas. Ada lagi pemegang saham lainnya, yakni kabupaten/kota, dan pensiunan pegawai Bank Nagari. Jadi segala sesuatu persoalan strategis/prinsip harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), termasuk penggantian para direksi. Kalau dirasa ada masalah, di RUPS inilah Gubernur Mahyeldi seharusnya bicara, tidak sembarangan seperti saat ini.

Bank itu adalah bisnis kepercayaan (trust). Dengan heboh-heboh tak karuan, akan menyebabkan para nasabah, deposan dan lainnya tentu akan berpikir-pikir terhadap Bank Nagari. Padahal saat ini Bank Nagari sedang sehat-sehatnya. Jadi, dari persoalan Rakor dan Bank Nagari ini, saran saya, Gubernur Mahyeldi harus mengevaluasi pola komunikasinya, serta anak buahnya yang Asal Bapak Senang (ABS), dan penjilat, khususnya dalam bidang komunikasi. (*)

Exit mobile version