Ia menilai standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, persetujuan dari para pihak. “Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” kata dia.
Ketiga, Arsyad menjelaskan aturan itu juga terjadi pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab terjadi legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan itu bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keempat, Arsyad menyoroti sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana Pasal 19. Ia menilai sanksi ini tidak proporsional, berlebihan, dan represif.
“Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan,” kata dia.
MOI Sebut Pemendikbud Merusak Moral
Penolakan terhadap aturan tersebut juga datang dari elemen umat Islam yang mengatasnamakan Majelis Ormas Islam. Ketua MOI, Nazar Haris meminta agar Permendikbud tersebut dicabut karena secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan. “Dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinaan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan,” kata Nazar dalam keterangan resminya yang telah dikonfirmasi.
Nazar memandang aturan itu mengadopsi draf lama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ia menyoroti paradigma sexual-consent. Paradigma itu, kata dia, memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan lagi agama, namun berganti kepada persetujuan dari para pihak. “Selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” kata dia. (cnnindonesia.com)