PADANG, RADARSUMBAR.COM – Walhi menilai lemahnya komitmen Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah soal pembalakan hutan tanpa izin di Ranah Minang, sehingga kerap memicu bencana ekologis.
Direktur Walhi Sumatera Barat Wengky Purwanto mengatakan pihaknya hingga kini belum melihat ketegasan gubernur terkait maraknya aksi perambahan kawasan hutan sesuai kewenangannya. Sementara urusan kehutanan ada pada pemerintah provinsi.
“Kami heran, gubernur sadar perambahan hutan salah satu pemicu banjir, tapi minim aksi. Jadi, semacam ada pembiaran yang pada akhirnya memicu bencana ekologis,” tutur Wengky di Padang,
Pada 7 Maret sejumlah daerah di Sumatera Barat mengalami bencana banjir bandang. Puluhan nyawa manusia dan harta benda masyarakat ikut jadi korban. Belum lagi bangunan pemerintah.
Ribuan hektare lahan siap panen luluh lantak, sehingga petani gagal panen. Demikian juga dengan ternak milik masyarakat. Ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal dan harus terpaksa tinggal di tenda pengungsian.
Wengky melanjutkan seharusnya gubernur menjadikan peristiwa itu sebagai momentum untuk bertindak, bukan sekadar bicara. Sebab bencana ekologis seperti banjir dan longsor hampir tiap tahun terjadi di Sumatera Barat.
Apalagi berdasakann Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah urusan kehutanan berada di pemerintah provinsi. Gubernur tidak boleh berlindung di balik minimnya ketersediaan petugas.
Gubernur bisa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, sehingga tidak ada alasan minimnya ketersediaan petugas dari gubernur untuk menindak, tapi kenyataannya Walhi belum melihat upaya itu.
Akibatnya kabupaten/kota menjadi tumbal dari lemahnya komitmen gubernur dalam melaksanakan amanah Undang-undang. Sementara di lain sisi mereka tidak bisa bertindak, karena tersandera aturan.
“Harusnya Gubernur Mahyeldi minta maaf pada masyarakat terdampak. Bukan hanya sekadar latah ber-statement,” tutur Wengky.
Menurut Walhi pemerintah provinsi seperti tidak berdaya menghadapi pelaku perambah hutan. Padahal kejahatan perambahan hutan adalah aksi nyata yang kapan saja bisa dilihat jelas.
Jika tidak mampu dirinya meminta pada gubernur untuk angkat bendera putih dan sampaikan pada pusat agar kewenangan pengelolaan maupun pengawasan hutan dikembalikan pada kabupaten.
Dengan demikian pengawasan bisa lebih intensif, karena pemerintah kabupaten/kota punya kewenangan dalam menindak. Rentang wilayah pengawasan juga kian kecil, sehingga tidak ada alasan keterbatasan sumber daya.
“Sekarang kan tidak begitu. Kewenangan ada di provinsi. Derita ada di kabupaten/kota dan masyarakatnya. Jika bertindak, ada tuduhan menyalahi kewenangan,” tutur Wengky.
Ia berharap bencana ekologis kali ini menjadi pelajaran bagi gubernur dan jajarannya untuk menindak tegas pelaku perambah hutan yang tanpa izin. Walhi kata Wengky melihat laju deforestasi di Sumatera Barat cukup pesat.
Tak hanya lemah dalam penindakan ulas Wengky, pihaknya juga melihat tidak adanya upaya mitigasi yang dlakukan pemerintah provinsi. Pembinaan bagi masyarakat sekitar kawasan nyaris tidak ada.
Kondisi itu membuat mereka menebang hutan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Padahal pemerintah provinsi menerima dana provinsi sumber daya hutan dan reboisasi dari APBN.
“Kami yakin, kalau upaya pencegahan itu dilakukan dengan serius dan berkelanjutan masyarakat sekitar kawasan tidak akan lagi menebang hutan,” ujarnya.
Sebelumnya Gubernur Provinsi Sumatera Barat Mahyeldi mengatakan, banjir dan longsor di Kabupaten Pesisir Selatan terjadi karena adanya aksi pembalakan hutan secara liar. Bahkan mengaku menyaksikannya.
“Dari kejadian longsor beberapa tahun lalu termasuk bencana yang sekarang terjadi ini ada indikasi (illegal logging). Terbukti saat saya ke sana penebangan liar itu ada,” kata Mahyeldi.
Menurut Gubernur, penebangan liar tersebut tidak hanya terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan. Sebab, dari beberapa kabupaten yang terdampak banjir maupun tanah longsor ia menemukan adanya indikasi penebangan liar di kawasan hutan misalnya di Kabupaten Pasaman.
Ia mengatakan pemerintah daerah bersama Forkompimda perlu segera menindaklanjuti. Tujuannya agar tidak ada lagi penebangan liar di kawasan hutan yang berfungsi sebagai penahan laju air terutama saat hujan.
“Jadi, masyarakat bisa memanfaatkan alam tanpa merusak hutan,” ujar dia. (rdr/ant)