MK Sebut Kunjungan Prabowo Subianto Gunakan Helikopter ke Batu Palano Agam tak Penuhi Unsur Pelanggaran

Putusan tersebut disampaikan Mahkamah setelah memeriksa secara seksama dalil Pemohon, jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat atau tulisan yang diajukan oleh Pemohon, keterangan Bawaslu beserta bukti-bukti yang diajukan.

Prabowo Subianto disambut Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar ketika mendarat dari helikopter di Lapangan Atas Ngarai. Menhan menginstruksikan perbaikan lapangan sepakbola yang menjadi markas klub PSKB (Antara/Al Fatah)

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan bahwa kunjungan Prabowo Subianto ke Nagari Batu Palano, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar) menggunakan helikopter tidak memenuhi unsur pelanggaran. Pasalnya kunjungan tersebut merupakan kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Hal tersebut disampaikan oleh Hakim MK, Arsul Sani dalam membacakan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) nomor 1/PHPU.Pres-XXII/2024 dan 2/PHPU.Pres-XXII/2024, Senin (22/4/2024) siang.

Putusan tersebut disampaikan Mahkamah setelah memeriksa secara seksama dalil Pemohon, jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat atau tulisan yang diajukan oleh Pemohon, keterangan Bawaslu beserta bukti-bukti yang diajukan.

“Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalil Pemohon telah diselesaikan oleh Bawaslu berdasarkan hasil kajian awal yang menyimpulkan tidak terdapat pelanggaran kampanye pemilu berupa pemasangan dan penggunaan atribut partai yang mengarah kepada kampanye baik dalam kegiatan kunjungan kerja di Nagari Batu Palano maupun tidak terdapat penggunaan fasilitas pemerintah dalam kegiatan kampanye di Pasar Raya dan Hotel Mercure,” kata Arsul Sani.

Oleh karena itu, sambung Arsul Sani, Mahkamah tidak mendapat keyakinan akan kebenaran dalil yang dipersoalkan Pemohon tersebut, di samping terhadap dugaan pelanggaran tersebut telah dilakukan penanganan dan kesimpulan oleh Bawaslu.

Selain itu, Majelis Hakim MK menolak eksepsi yang diajukan oleh Termohon dan Pihak Terkait yang menyatakan bahwa lembaga peradilan tersebut tidak berwenang dalam menangani perkara PHPU Pilpres 2024.

Dalam perkara yang diajukan oleh Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud itu, berlaku sebagai Termohon adalah KPU dan Pihak Terkait adalah Prabowo-Gibran.

“Eksepsi yang tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon,” kata Hakim MK, Saldi Isra.

Saldi mengatakan, eksepsi yang ditolak tersebut pada intinya menyatakan bahwa MK tidak berwenang mengadili permohonan a quo karena permohonan pemohon tidak mendalilkan PHPU Pilpres berupa penghitungan secara kuantitatif, melainkan mendalilkan pelanggaran kualitatif yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Dalam pertimbangan MK, ia menjelaskan, apabila terdapat indikasi tidak terjadinya pemenuhan asas-asas dan prinsip pemilu pada tahapan pemilu sebelum penetapan hasil, hal tersebut merupakan kewajiban bagi MK untuk mengadili.

“Apa pun alasannya, hal tersebut menjadi kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi untuk, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, mengadili keberatan atas hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu,” kata Saldi.

Maka dari itu, lanjutnya, MK tidak memiliki alasan untuk menghindar dari mengadili masalah hukum pemilu yang berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu sepanjang memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilu.

Saldi mengatakan, paradigma tersebut telah menjadi pendirian MK sejak menangani perkara PHPU Pilpres dari tahun 2004 hingga 2019. Pendirian itu, kata dia, tercermin pada Putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVI/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno pada 29 Juni 2019.

“Telah jelas bahwa Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara, tetapi juga dapat menilai hal-hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu,” kata dia.

Walaupun demikian, MK menegaskan, sebagai lembaga konstitusional untuk memutus PHPU, sebenarnya tidak tepat dan tidak pada tempatnya apabila dijadikan tumpuan untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi selama penyelenggaraan tahapan pemilu.

“Apabila tetap diposisikan untuk menilai hal-hal lain, sama saja dengan menempatkan Mahkamah sebagai ‘keranjang sampah’ untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pemilu di Indonesia,” ucapnya. (rdr)

Exit mobile version