Mulai Tergerus, Begini Upaya Taman Budaya Sumbar Pertahankan Ukiran Minang

Taman Budaya Sumbar merasa berkewajiban untuk merawat kekayaan tradisi ini. Sementara seniman yang menjadi peserta adalah hasil seleksi dari seluruh kabupaten dan kota di Sumbar.

Workshop ukiran di Taman Budaya Sumbar. (dok. istimewa)

Workshop ukiran di Taman Budaya Sumbar. (dok. istimewa)

PADANG, RADARSUMBAR.COM – UPTD Taman Budaya Sumatera Barat (Sumbar) menggelar Workshop Kriya pada Senin-Rabu (10-12 Juni 2024) di Gedung Kebudayaan. Sebanyak 30 seniman kriya ikut dalam kegiatan ini.

Kepala UPTD Taman Budaya Sumbar, Supriyadi, mengatakan, workshop ini digelar dengan tujuan melahirkan seniman kriya baru, terutama kriya yang menggunakan ukiran Minang.

“Jika ukiran Minang tidak lagi jadi prioritas seniman dalam berkarya, kita akan kehilangan salah satu kekayaan tradisi kita,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Supriyadi, Taman Budaya Sumbar merasa berkewajiban untuk merawat kekayaan tradisi ini. Sementara seniman yang menjadi peserta adalah hasil seleksi dari seluruh kabupaten dan kota di Sumbar.

Salah satu mentor dalam workshop adalah Hengki Ahmad Syahren. Hengki merupakan pengukir asal Canduang. Ia telah melahirkan banyak karya ukir Minang. Salah satu yang fenomenal adalah ukirannya di Rumah Adat Pagaruyung Batusangkar.

Menurut Hengki, ukiran Minang mulai ditinggalkan karena perkembangan zaman. Dulu, di masa jayanya, pengukir yang menggunakan ukiran Minang banyak berkembang di Canduang dan Pandai Sikek.

“Ini dua daerah yang dikenal banyak pengukir,” ujarnya. Banyaknya pengukir selaras dengan banyaknya projek ukir. Dulu, ukiran Minang tidak hanya diterapkan pada rumah adat dan gedung pemerintahan, tapi juga di rumah-rumah pribadi.

Di rumah pribadi, ukiran Minang ada pada pintu, jendela, bahkan di ruang bagian dalam. Belum sempurna sebuah rumah jika tidak ada ukiran Minang.

Seiring perkembangan zaman, rumah-rumah pribadi mulai meninggalkan ukiran Minang, beralih ke model minimalis berkiblat ke Eropa. “Dampaknya, tak banyak lagi yang mau belajar ukiran Minang. Sebab, projeknya sedikit, upahnya juga murah,” ujarnya.

Hengki khawatir kekayaan seni Minang ini hilang di masa depan. Oleh karena itu, ia mengajak seniman ukir untuk terus menggunakan ukiran Minang dan memindahkan mediumnya, dari rumah adat ke media kreasi yang lebih kreatif.

Instruktur berikutnya, Iswandi menambahkan pentingnya inovasi dalam karya kriya. “Pembuatan souvenir, batik, tekstil, bisa jadi medium-medum baru yang kreatif dan bernilai jual,” ujarnya.

Iswandi menambahkan seniman perlu mempunyai keterampilan konstruksi penciptaan karya, teknik pemanfaatan alat dan media, serta referensi nilai filosofi dan budaya.

Pada workshop ini, peserta ditantang untuk membuat ukiran Minang dengan medium kreatif tersebut. Hasilnya menarik. Ada yang membuat kotak tisu, kotak handphone, gantungan kain, yang beradaptasi dengan kebutuhan pasar.

Salah seorang seniman, misalnya, membuat produk gantungan baju menyerupai gonjong rumah gadang. Motif yang digunakan adalah Aka Cino. Maknanya, motif ini mengajarkan sifat yang pantang menyerah dan tidak mudah putus asa.

Kepala UPTD Taman Budaya, Supriadi, berharap, karya-karya ukir ini dengan menggunakan motif Minang ini dapat bersaing di pasar nantinya. (rdr)

Exit mobile version