Mirip Kasus Ferdy Sambo, Polisi Terindikasi Lakukan Obstruction of Justice Dalam Kematian Afif Maulana? Ini Kata Pengamat Hukum

Ini menjadi rumit, mereka yang memiliki kewenangan, ini sudah pelanggaran HAM.

Pengamat Hukum dari Universitas Andalas (Unand), Ilhamdi Putra. (Foto: Dok. Istimewa)

Pengamat Hukum dari Universitas Andalas (Unand), Ilhamdi Putra. (Foto: Dok. Istimewa)

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Pengamat Hukum dari Universitas Andalas (Unand), Ilhamdi Putra khawatir kasus kematian Afif Maulana (13) mirip dengan persoalan yang menimpa eks Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo beberapa waktu lalu.

Hal tersebut ia sampaikan dalam program Advokat Sumbar Bicara yang ditayangkan secara langsung oleh Padang TV pada Jumat (28/6/2024) lalu membahas kematian Afif Maulana di bawah Jembatan Sungai Kuranji tanggal 9 Juni 2024.

“Dalam kasus Afif Maulana, kepolisian itu mengalami turbulensi, mulai kasus Ferdy Sambo, Vina, (Teddy Minahasa) Afif Maulana, itu turbulensi di Polri dan gempa di Polda Sumbar. Kita jangan terjebak narasi, ketika kita merujuk Ferdy Sambo, ada teori yang mengatakan bahwa yang paling rentan melakukan pelanggaran hukum adalah penegak hukum. Ini menjadi rumit, mereka yang memiliki kewenangan, ini sudah pelanggaran HAM,” katanya dinukil Radarsumbar.com pada Selasa (2/7/2024) malam.

Dirinya khawatir ketika semua polisi yang berperang narasi melakukan counter terhadap pemberitaan Afif Maulana terjaring ke dalam perintangan penyidikan atau penegakan hukum.

“Yang ingin saya spotlight, bagaimana nanti, sekiranya kita pinjam sudut pandang kasus Ferdy Sambo, kemudian para polisi yang berperang narasi melakukan counter terhadap pemberitaan itu semuanya terjaring ke sana. Saya khawatir, kasus Afif Maulana akan bergerak ke sana. Kalau lah kemudian terbukti bahwa ini memang dilakukan penyiksaan oleh polisi, ini mengarah ke Obstruction of Justice, itu kekhawatiran saya. Pertanyaan saya begini, ke mana nanti arahnya kasus ini ketika nanti kedua belah pihak berperang narasi? Kekhawatiran saya, kasus Ferdy Sambo dalam konteks Sumbar akan terjadi,” katanya.

Dalam kasus kematian Afif Maulana, Ilhamdi Putra juga mempertanyakan polisi yang bertugas di Samapta Bhayangkara (Sabhara) paham dengan Undang-undang (UU) Perlindungan Anak.

“Dalam keadaan apapun, anak itu tetap dipandang sebagai seorang korban yang bertanggungjawab terhadap apapun tindakannya, kelakuannya, itu adalah lingkungannya, terutama keluarga. Nah, contoh kasus anak disuruh guling-guling, kemudian disundut rokok, saya menduga ini semacam common culture di kepolisian, saya khawatirnya seperti itu. Dalam konteks ini, saya berfikir bahwa atas dasar apa kepolisian kemudian pada saat ini melakukan penyiksaan kepada orang-orang yang masih diduga melakukan sebuah kejahatan, belum lagi kemudian kita terjebak dalam perang narasi,” katanya.

“Kemudian, ketika kita membicarakan data, dalam beberapa tahun belakangan, ada 42 kasus penganiayaan, parahnya 31 kasus oleh polisi, sisanya TNI lalu sipir. Dari 31 kasus itu, berakhir kepada hilangnya nyawa. Penyiksaan terhadap tahanan, itu sudah menjadi kekhawatiran saya sudah menjadi culture yang terlembaga di kepolisian,” sambungnya.

Ilhamdi juga melihat adanya inkonsistensi dari Polda Sumbar dalam memberikan pernyataan terhadap Afif Maulana hingga yang terkesan mengabaikan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan kronologi kejadian yang cenderung berubah-ubah.

“Ini menarik ini, kita pinjam sudut pandang dari narasi Polda. Kata Polda kan kronologinya itu Afif mengajak Adit (rekan korban) untuk melompat ke sungai, tapi Adit tidak mau. Lalu kemudian, sekonyong-konyong Afif tiba-tiba menghilang, yang lainnya dibawa ke Polsek Kuranji pada saat itu dan kemudian narasi Polda lagi, Afif dia lompat. Kalau lah sekiranya Polda konsisten dengan argumentasi tersebut, lalu kemudian Polda konsisten bahwa Afif benar-benar lompat dan meyakini peristiwa itu terjadi, seharusnya TKP-nya dijaga, dilokalisasi, lalu kemudian didokumentasikan agar tidak rusak,” katanya.

Bahkan, Dosen di Fakultas Hukum Unand itu mengindikasikan Polda Sumbar sebenarnya tidak yakin dengan narasi mereka sendiri atau seperti membuat strategi terkait kematian Afif Maulana.

“Artinya, ketika polisi mengabaikan TKP, polisi juga tidak yakin dengan narasinya sendiri. Kalau polisi yakin, dia harus menjaga TKP. Karena di TKP itulah sebenarnya yang seharusnya dijadikan, jika memang benar-benar yakin Afif melompat, harus ada olah TKP. Sangat logis rasanya kita melakukan tes, kita tahu ada boneka balistik yang berbentuk jel menyerupai tubuh manusia, kan bisa saja TKP itu dijaga. Publik harus mempertanyakan ini lebih jauh,” tuturnya. (rdr)

Exit mobile version