larangan beribadah pada waktu jam kerja, diskriminasi dan pelibatan pekerja anak, dan bentuk lainnya.
Mahyeldi mengatakan relevansi antara bisnis dan HAM telah diwujudkan dalam sebuah kesepakatan dan komitmen dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai The Guiding Principles On Business and Human Rights selanjutnya disebut UNGPs (United Nations Guiding Principles).
Dengan adanya UNGPs maka negara-negara di dunia berkomitmen terhadap pengenalan dan tanggung jawabnya terhadap isu bisnis dan HAM.
Pemerintah Indonesia kemudian turut berusaha memperkenalkan UNGPs kepada masyarakat serta pelaku bisnis dimana pada tahun 2011 Indonesia secara resmi menerima UNGPs.
Ia mengatakan UNGPs sebagai dokumen pertama yang menyediakan standar global untuk mencegah dan mengatasi dampak risiko pelanggaran HAM yang muncul dari aktivitas bisnis akan dijadikan sebagai pijakan.
Dokumen UNGPs mempunyai tiga pilar kerangka kerja yaitu protect, respect, dan remedy, dimana pilar pertama ditujukan terhadap pemerintah agar melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis.
Pilar kedua ditujukan kepada Perusahaan yang diminta bertanggung jawab untuk menghormati HAM (the corporate responsibility to respect human rights) dengan menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi.
Sementara pilar ketiga ditujukan bagi masyarakat korban karena mereka harus mendapatkan akses pemulihan (access to remedy).
“Korban punya kebutuhan untuk memperluas akses mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial,” katanya. (rdr/ant)