Karakteristik abrasi yang terjadi di sepanjang Pantai Padang juga berbeda-beda.
“Misalnya, di sekitar Monumen Merpati Perdamaian hingga kawasan Muaro, karakteristik abrasi dominan dalam arah tegak lurus pantai. Berbeda dengan kawasan di bagian utara di sekitar Bandara Internasional Minangkabau (BIM), gelombang dan arus masih dominan bergerak sejajar pantai,” ucapnya.
Pola arus atau karakteristik ini juga dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pertambahan bangunan pelindung pantai.
“Prinsip dan karakteristik ini yang harus kami petakan satu-persatu untuk menentukan pelindung pantai seperti apa agar efektif untuk mencegah abrasi,” katanya.
Adapun menurut Abdul, salah satu pilihan infrastruktur untuk memitigasi adanya abrasi di Pantai Padang saat ini adalah dengan membangun offshore breakwater yang sejajar pantai, di laut sejauh 50 hingga 100 meter dari bibir pantai.
“Secara alami, dengan adanya pemecah gelombang offshore yang sejajar pantai, akan terbentuk Tombolo atau sedimen pasir yang terbawa arus yang tegak lurus dengan pantai,” katanya.
Adanya infrastruktur lepas pantai tersebut akan mendorong munculnya sedimen di belakang struktur hingga garus pantai.
Sehingga, sedimen pasir itu nantinya dapat dimanfaatkan untuk menanam vegetasi, seperti mangrove, cemara udang dan beragam vegetasi lain yang dapat menahan abrasi sekaligus mengurangi dampak risiko jika terjadi tsunami.
Pembangunan infrastruktur fisik harus pararel dengan upaya mitigasi berbasis vegetasi.
“Pembangunan fisik ini untuk jangka pendek 50 hingga 70 tahun, karena infrastruktur fisik semakin lama semakin berkurang kekuatannya. Sedangkan tsunami memiliki periode ulang 50 hingga ratusan tahun. Sementara kalau vegetasi, semakin lama ditanam akan semakin kuat menahan gelombang,” tuturnya. (rdr-008)