PADANG, RADARSUMBAR.COM – Pedagang Pasar Raya Padang yang tergabung ke dalam Komunitas Pedagang Pasar (KPP) dan Organisasi Pedagang Sejenis (OPS) tetap mendesak pencabutan Peraturan Wali Kota (Perwako) Wali Kota Padang Nomor 438 tahun 2018 tentang Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pedagang menilai, aturan tersebut telah merugikan lantaran sudah tak berjalan efektif serta berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Hal tersebut diutarakan oleh salah satu pedagang, Anita saat ditemui Radarsumbar.com, Selasa (13/6/2023) siang.
“Tidak ada lagi yang menjadi alasan dari Pemko Padang berserta jajarannya untuk tidak mencabut SK Nomor 438 Tahun 2018 ini,” kata Anita.
Perwako Nomor 438 Tahun 2018, ia nilai adalah aturan yang melawan hukum, karena bertentangan dengan Undang-undang (UU) lalu lintas, UU tata ruang dan juga telah melanggar hak asasi manusia.
“Karena kami sebagai warga negara tidak diberikan perlindungan yang layak oleh pemerintah bagi keberlangsungan hidup rakyatnya,” katanya.
Ia menilai Perwako Nomor 438 Tahun 2018 telah mencederai tujuan mulia bernegara sebagaimana dicantumkan dalam pembukaan UUD tahun 1945 dan Pancasila sila ke-5, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Dengan adanya Perwako Nomor 438 Tahun 2018 ini, mengakibatkan carut marutnya keadaan pasar, hilangnya hak-hak seluruh elemen masyarakat seperti hilangnya tempat parkir, hilang akses jalan bagi pejalan, dan menimbulkan kemacetan bagi jalur-jalan umum sepanjang jalan Pasar Raya sampai Permindo,” ungkapnya.
Akibat keadaan tersebut, kata Anita, sering terjadi benturan antara pedagang toko dengan PKL. “Sehingga hilangnya kenyamanan dan ketentraman di Pasar Raya Padang,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu pedagang dari OPS, Alex menagih janji Pemerintah Kota (Pemko) Padang untuk menertibkan PKL di Pasar Raya.
Namun, hingga saat ini, dia melihat belum ada tanda-tanda dari Pemko Padang untuk mengambil tindakan konkret.
“Saya belum melihat adanya pergerakan itu. Kami dari OPS meminta KPP memfasilitasi keinginan kami untuk berunjuk rasa,” katanya.
Alex mengatakan, pedagang toko Pasar Raya Padang tidak memiliki masalah dengan PKL, namun lebih ke Perwako Nomor 438 Tahun 2018.
“Jika alasannya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat menengah ke bawah, namun kenyataannya kami lihat, itu pedagang yang punya modal, namun tak menyewa toko, karena merasa lebih enak berjualan di pinggir jalan,” katanya.
Menurutnya, Perwako 438 Tahun 2018 terlalu memanjakan dan memberikan ruang dan dalih bagi PKL untuk tetap beraktivitas.
“Mereka itu mulai berdagang dari pukul 12.00 WIB, sementara bagi pedagang toko, transaksi jual beli pedagang toko baru terjadi pukul 11.00 WIB, namun baru satu jam berjalan sudah dihambat oleh PKL,” katanya.
“Sementara, PKL itu sendiri mulai berjualan dari pukul 12.00 WIB hingga tengah malam,” katanya.
Pada kesempatan itu, Alex menjelaskan bahwa belum melaksanakan unjuk rasa lantaran masih melihat itikad baik dari Pemko Padang untuk merealisasikan janjinya merelokasi PKL.
“Kami tak mau demo ini barbar saja, tidak tepat sasaran, kami punya induk, KPP namanya, sehingga kami menunggu timing yang tepat. Namun jika itikad baik itu tak terlaksana, maka insya Allah demo ini dilaksanakan, karena kami menuntut hak kami,” katanya.
Selain itu, kata Alex, kondisi sebagian bangunan yang sudah tua di Pasar Raya seperti saat ini diperparah tidak adanya jalur dan jalan evakuasi darurat yang layak, dimana seluruh depan toko ditutup mati oleh PKL.
“Bagaimana kami selaku pedagang yang berada dalam toko dan pengunjung pasar raya menyelamatkan diri. Kami tidak tahu kapan gempa megathrust itu akan terjadi. Di sini, kami selaku warga negara tidak diberikan perlindungan penuh akan keselamatan kita bersama, hal ini telah mencederai hak asasi kami selaku warga negara,” tuturnya. (rdr-008)