Kata Pengamat Soal Siswa SD “Bacaruik” ke Guru di Limapuluh Kota

Muhyiatul Fadilah sangat menyesalkan terjadinya perlakukan kasar dari seorang siswa siswa Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Limapuluh Kota.

Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Muhyiatul Fadilah. (Foto: Dok. Pribadi)

Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Muhyiatul Fadilah. (Foto: Dok. Pribadi)

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Beberapa hari belakangan, masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) digegerkan dengan perlakuan seorang siswa Sekolah Dasar (SD) yang ‘bacaruik’ (berkata kasar, red) ke gurunya.

Peristiwa itu diketahui terjadi pada Senin (17/7/2023) di SD Negeri 07 Saok Laweh, Suayan, Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar.

Meski sudah berakhir damai dan video permintaan maaf sang guru juga telah dipublikasikan, nyatanya persoalan tersebut tak benar-benar selesai.

Bahkan, perhatian akan persoalan tersebut datang dari berbagai pihak, seperti Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga akademisi.

Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Muhyiatul Fadilah sangat menyesalkan terjadinya perlakukan kasar dari seorang siswa siswa Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Limapuluh Kota yang viral di berbagai media sosial (medsos).

Menurutnya, sikap temperamental pada anak merupakan suatu ekspresi negatif yang berkembang akibat pembiaran di keluarga, lingkungan sekitar dan sekolah itu sendiri.

“Emosi meledak-ledak dari anak pada intinya merupakan luapan keinginan untuk mendapat perhatian. Emosi pada anak akan muncul jika di abaikan, tidak dicukupi kebutuhan, atau karena ada tekanan yg mengarah ke bully,” katanya kepada awak media, Kamis (20/7/2023) malam.

Seorang guru dalam proses pembelajaran, katanya, harus bisa mewujudkan emosi positif dalam mendukung misi pembelajaran di sekolah.

“Guru harus bisa memberikan pendekatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan penilaian positif terhadap peserta didik,” katanya.

Selain itu, katanya, seorang guru harus bisa memberikan masukan yang konstruktif, memberikan peluang mereka belajar dari kesalahan, serta menumbuhkan kemandirian bagi siswa.

“Seorang guru pendidik harus bisa menstimulasi peserta didik untuk menemukan strategi-strategi untuk mengendalikan emosi negatif,” katanya.

Apalagi, katanya, guru tidak bisa memilih siswa dengan karakter bawaan keluarga yang semuanya sempurna. Sekolah merupakan tempat untuk mengulang kembali nasihat kepada anak.

“Guru dalam hal ini harus bisa menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif terhadap pengembangan emosi positif. Melihat video yang beredar, kita harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya,” katanya.

Selain itu, katanya, guru harus memainkan perannya sebagai pendidik di sekolah. Mendidik itu menurut Muhyiatul Fadilah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, seperti hukuman dan penguatan.

“Guru punya wewenang untuk memberikan hukuman jika memang perilaku negatif siswa berbahaya untuk dibiarkan. Agar pemberian hukuman tidak menjadi permasalahan dari orang tua, maka dari awal harus ada kesepakatan tentang batasan pelanggaran sikap, adab dan akhlak beserta jenis hukumannya,” katanya.

“Yang jelas, guru dan orangtua harus mempunyai satu komitmen, jangan malah melaporkan guru atau sekolah jika anak diterapkan hukuman. Untuk anak generasi sekarang, tentu sindiran dan tantangan tidak akan menjadi ucapan yang ditakuti, tetapi yang dibutuhkan adalah tindakan tegas yang jelas dan terkontrol,” sambungnya.

Ia menekankan, pada saat ini pendidikan karakter dinilai menjadi poin penting untuk menumbuhkan generasi-generasi dengan karakter positif.

Apalagi, masalah karakter merupakan satu ranah kompetensi yang butuh penanganan real time, dan tidak bisa ditunda. Karakter adalah kompetensi belajar yang mahal, yang tidak bisa disajikan oleh secanggih apapun teknologi.

“Selain membekali siswa dengan kemampuan akademis, orang tua dan guru perlu memiliki visi dan misi yang selaras dan bersinergi agar anak tumbuh sesuai dengan karakter yang diharapkan,” katanya.

Muhyiatul Fadilah melihat, kerja sama orang tua dengan guru maupun pihak sekolah sangatlah di perlukan dalam perkembangan peserta didik, terutama usia anak sekolah dasar yang masih perlu perhatian yang khusus dari orang tua dan guru.

“Yang menjadi poin penting, guru perlu mengenal peserta didiknya secara spesifik, agar pengajaran yang dilakukan tepat sasaran,” katanya.

Oleh karena itu, Muhyiatul Fadilah mengingatkan tujuan pembelajaran tidak akan tercapai bila tidak ada kontribusi orang tua dalam proses pembelajaran.

“Ingat, tujuan orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah adalah mendidik anak. Jika anak tidak mendapat pendidikan karakter juga di rumah, maka tujuan pendidikan itu sendiri tidak akan tercapai. Oleh karena itu, memandang kasus ini, komunikasi dengan berbagai sangat penting dalam mensukseskan pendidikan itu sendiri,” tuturnya. (rdr)

Exit mobile version