“Kata atau frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut sangat bertolak belakang dengan keberadaan politik identitas,” katanya.
Apalagi, katanya, Pasaman Barat adalah merupakan daerah yang pemilih heterogen dimana ada pemilih dengan suku Mandailing, Minang dan Jawa.
Begitu juga dengan agama sangat beragam tidak hanya Islam yang mayoritas tetapi juga ada Kristen Protestan dan Katholik.
Saat ini pemilih Pemilu 2024 di Pasaman Barat mencapai 296.254 sesuai daftar pemilih tetap (DPT). Di dominasi oleh pemilih milenial dengan kategori usia 28-43 tahun sebanyak 102.814 orang.
Begitu juga dengan suku. Walaupun Pasaman Barat adalah bagian ranah minang tetapi suku Mandailing dan Jawa juga sangat berpengaruh dan menentukan.
Untuk itu, katanya, pihaknya akan selalu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat agar politik identitas itu jangan sampai muncul kepermukaan.
Masyarakat diberikan kewenangan yang cukup luas untuk memilih dan menentukan wakilnya.
Ia mengajak masyarakat jangam mudah terpengaruh dengan politik identitas. Sebab, peserta pemilu akan melakukan cara-cara tertentu. Cara-cara tertentu yang dilaksanakan pun beragam, baik dengan cara yang benar sesuai Undang-Undang, hingga cara-cara yang tidak baik dan cenderung mengarah kepada pelanggaran. (rdr/ant)