JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendorong rekontekstualisasi Islam yang sesuai dengan konteks kekinian dan nilai-nilai kemanusiaan serta membentuk cara berpikir dan mentalitas baru umat Islam seluruh dunia.
“Rekonstektualisasi Islam sangat penting untuk diingat dan diresonansi kembali, apalagi dunia saat ini sedang di ambang kekacauan seiring dengan adanya perang, resesi global, kelangkaan energi dan pangan, serta pertentangan antaragama dan keyakinan yang masih saja terjadi,” kata Menag saat membuka Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-21 di Mataram, NTB, Kamis (20/10/2022) malam.
“Sebagai manusia yang dianugerahi akal, kita tentu tidak boleh hanya diam. Kita harus memilih bagian mana yang bisa kita perbantukan bagi peradaban umat manusia,” kata Menag, dikutip dari siaran pers, Jumat (21/10/2022).
Menurut Menag, reaktualisasi Islam merupakan tantangan karena masih kuatnya otoritas wawasan Islam klasik, bahkan ada anggapan sebagai standar ortodoksi Islam.
Misalnya, kata Menag, terkait dengan cara pandang klasik yang menempatkan nonmuslim sebagai musuh, sekurang-kurangnya sebagai pihak yang harus dicurigai dan diwaspadai. Nonmuslim dinyatakan tidak punya kedudukan dan hak yang setara dengan muslim di berbagai ruang publik.
“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi akademisi, tidak hanya pada aspek pandangan keagamaan saja, tetapi juga otoritas pandangan tersebut yang nyata berpengaruh secara luas dan membentuk cara berpikir dan mentalitas umat Islam seluruh dunia,” kata Menag.
Untuk mewujudkan reaktualisasi Islam, menurut Menag, perlu bangunan strategi yang menggabungkan tiga elemen utama. Pertama, mendorong berkembangnya wacana rekontekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis dan intelektual.
Elemen kedua, lanjut Menag, adalah mendorong terbentuknya konsensus-konsensus di antara kekuatan-kekuatan politik global untuk mendukung upaya rekontekstualisasi Islam dan melegitimasi pandangan Islam yang sesuai konteks kekinian dan nilai-nilai kemanusiaan.
Elemen ketiga, mendorong tumbuhnya gerakan sosial di tingkat akar rumput untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai universal yang mempersatukan seluruh umat manusia serta mengoperasionalkannya dalam kehidupan sosial budaya yang nyata.
“Karena yang dihadapi adalah masalah global, strategi untuk mengatasinya pun harus berskala global pula,” kata Menag.
Untuk itu, Menag berharap AICIS menghasilkan peta jalan yang dapat dieksekusi dengan melibatkan para pemimpin dunia, bukan hanya pemimpin agama dan bukan hanya agama Islam saja, melainkan seluruhnya secara inklusif, termasuk para pemimpin politik, pemimpin organisasi-organisasi sosial dan pusat-pusat pendidikan, serta selebriti.
“Kalau perlu tunjuk duta (emiserries) untuk penugasan menjalankan strategi ini. Artinya, ikhtiar ini memerlukan effort yang serius,” kata Menag.