Sejak 2010 terjadi peningkatan tajam jumlah pembangkitan listrik dari pembangkit listrik tenaga batu bara, serta konsumsi bensin dan solar, yang keduanya berkontribusi pada polusi partikulat.
“Masalahnya adalah pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia — ada sekitar sepuluh dalam radius 100 km dari Jakarta— saat ini diizinkan untuk melepas 3 hingga 7,5 kali lebih banyak partikulat, NOx, dan SO2 daripada pembangkit listrik tenaga batu bara di Tiongkok, dan 2 hingga 4 kali lebih banyak daripada pembangkit listrik tenaga batu bara India yang dibangun antara 2003 dan 2016,” kata Kenneth.
Ambang konsentrasi PM, SO2, dan NOx dalam emisi pembangkit listrik tenaga batu bara Indonesia adalah 3 hingga 7,5 kali lebih tinggi daripada ambang yang berlaku China, dan 2 hingga 4 kali lebih tinggi daripada ambang di India untuk pembangkit yang dibangun antara tahun 2003 dan 2016. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk memperketat ambang ini sejak 2008, berbagai kritik yang saling berbenturan terhadap revisi yang diusulkan telah menghambat upaya tersebut.
Upaya pemerintah
Pemerintah Indonesia telah mulai mengambil beberapa langkah awal untuk mengatasi masalah polusi partikulat. Sejauh ini, sebagian besar upaya terkonsentrasi pada sektor transportasi. Misalnya, pada 2017, pemerintah Indonesia mewajibkan semua kendaraan berbahan bakar bensin mengadopsi standar bahan bakar Euro-4 pada September 2018.
Standar yang awalnya diadopsi di Uni Eropa dan sekarang diadopsi secara luas di seluruh dunia dan menjadi standar internasional, Euro-4 menuntut penggunaan bahan bakar yang berkualitas tinggi dan lebih bersih dengan kandungan sulfur tidak melebihi 50 bagian per juta (ppm).
“Ini sepuluh kali lebih ketat dari standar bahan bakar Euro-2 yang sebelumnya digunakan di Indonesia,” kata Kenneth.
Pemerintah Indonesia juga telah meningkatkan upaya memerangi polusi udara dari kebakaran lahan gambut dan hutan.
Setelah bencana Kabut Asap Asia Tenggara 2015 menyebabkan kerusakan kesehatan dan ekonomi internasional, Presiden Joko Widodo memberlakukan moratorium pengembangan lahan gambut baru dan mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Upaya BRG untuk menggenangi kembali lahan gambut yang terdegradasi disebut sebagai salah satu kemungkinan alasan mengapa Indonesia baru-baru ini mengalami lebih sedikit kebakaran. Pada 2018, AQLI mencatat luas lahan yang mengalami kebakaran hanya 7 persen dari luas lahan yang mengalami kebakaran pada 2015.
“Namun karena sebagian lahan yang terbakar pada 2018 diprioritaskan untuk restorasi gambut atau terlindung dari drainase, tidak jelas apakah penurunan kebakaran baru-baru ini disebabkan oleh upaya pemerintah atau kondisi cuaca yang lebih baik,” katanya.
Tantangan ganda pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan yang dihadapi Indonesia saat ini tidak berbeda dengan yang pernah dihadapi oleh London, Inggris, Los Angeles, California, atau Osaka, Jepang — yang dulu dijuluki “the big smoke”, “the smog capital of the world” dan “smoke capital” — selama periode industrialisasi mereka.
Warisan perbaikan lingkungan itu adalah bukti bahwa tantangan polusi di Indonesia dapat dipecahkan.
Faktanya, China telah mencetak kemajuan luar biasa dalam meningkatkan kualitas udara dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2014, pemerintah mendeklarasikan “perang melawan polusi” dan melembagakan rencana nasional untuk menghadapinya.
Menurut data satelit, polusi partikulat di kota-kota China telah berkurang rata-rata sekitar 30 persen sejak “perang melawan polusi” dicanangkan. India, yang telah mendeklarasikan perang melawan polusinya sendiri pada Januari 2019, akan berada di jalur yang sama jika berhasil memenuhi target pengurangan polusi yang dinyatakan sebesar 20 hingga 30 persen.
“Indonesia berpeluang mengalami kemajuan serupa. Jika Indonesia ingin mencapai dan mempertahankan pengurangan polusi 30 persen yang sama seperti yang dialami di China, rata-rata penduduknya akan bertambah usia harapan hidupnya satu tahun. Penduduk di daerah yang paling tercemar di Indonesia akan hidup 2,5 sampai 3 tahun lebih lama,” kata Kenneth. (ant)