JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Indonesia Police Watch (IPW) meminta jajaran Polri tidak tebang pilih dalam mengimplementasikan program Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (Presisi) yang digaungkan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Selain itu, Polri juga diminta untuk solid dan tidak bertele-tele dalam menyelesaikan permasalahan internal.
“Slogan Presisi tampaknya masih mengalami ujian berat,” kata Ketua IPW, Sueng Teguh Santoso dalam keterangan tertulis yang diterima Radarsumbar.com, Jumat (30/6/2023) malam.
Sugeng mengatakan, penanganan terhadap anggota yang nakal jarang terekspose apabila tidak mencuat ke publik melalui media sosial dan menjadi viral.
“Akibatnya, transparansi dalam program presisi itu masih jauh dari harapan. Masih banyak anggota yang melakukan penyimpangan disembunyikan, ditutup-tutupi bahkan dibela oleh para pelaksana satuan kerja (satker) di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo,” kata Sugeng.
Sueng mencontohkan lima anggota polri di Jawa Tengah (Jateng) lantaran yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap penerimaan calon Bintara Polri tahun 2022 dan tertangkap tangan dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri.
“Awalnya dibela dengan sanksi ringan tapi akhirnya dipecat setelah Kapolri bersikap tegas.
Proses penanganannya terhadap kelima pelaku anggota Polri yang melakukan pemerasan dan pungli tersebut sangat tersendat-sendat,” katanya.
Penanganan kode etik dan tindakan pidana itu, katanya, terindikasi disembunyikan dan tidak dibuka agar uang yang mengalir puluhan miliar tersebut tidak mengarah ke tingkat yang lebih tinggi.
“Keterbukaan atau trasparansi baru muncul setelah adanya perintah Kapolri melalui statment kepada publik yang cukup jelas: “pecat” atau proses pidana.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit saat menutup Rakernis SDM Polri di Riau, pada Jumat (17/3/2023) di hadapan peserta rapat yang juga dihadiri Kapolda Jateng, Irjen Ahmad Luthfi dan Kabid Propam Polda Jawa Tengah.
Sejatinya, kata Sugeng, Kapolri telah menunjukkan transparansinya dalam program presisinya untuk menjawab keingintahuan masyarakat.
“Namun level bawah Kapolri, seperti Kapolda, Kapolres selalu berkelit untuk tidak transparan kepada publik,” katanya.
Pada kasus pemerasan dan pungli penerimaan Bintara Polri yang semula dibongkar oleh IPW, katanya, Kapolda Jateng awalnya tidak transparan mempublikasikan kasus yang terjadi oleh anggotanya.
“Sehingga, penanganan lima anggota Polri yang melakukan pungli Bintara Polri di Polda Jateng berliku-liku dan menjadi polemik di publik dan mengganggu citra Polri. Apakah mereka dipecat dan pidana dari pelaku Kompol AR, Kompol KN, AKP CS, Bripka Z, dan Brigadir EW itu diteruskan ke proses hukum atau tidak,” katanya.
Menurutnya, putusan ini berbanding terbalik dengan penanganan kasus pemerasan oleh Briptu BR di Polda Sultra yang tertangkap tangan dalam penerimaan calon siswa Bintara Polri.
Pelaku langsung dipecat dalam sidang kode etik profesi Polri. Jangka waktu pemeriksaan yang dimulai sejak bulan Juni 2022 itu diputus PTDH pada 30 September 2022.
“Pada tataran ini, maka apa yang didengung-dengungkan Kapolri sebagai Program Polri Presisi menjadi ‘lip service’ saja,” katanya.
Tidak jarang, katanya, setelah Kapolri berteriak, jajaran bawah baru bergerak. Hanya dalam hitungan kurang dari seminggu, para pelaku penerimaan Bintara Polri itu dipecat oleh Kapolda Jateng, Irjen Ahmad Luthfi yang diputuskan 20 Maret 2023.
“Padahal sebelumnya, Kapolda hanya memberikan hukuman yang sangat ringan terhadap pelaku yang telah menciderai institusi Polri tanpa dituntut pidana,” katanya.
Keteladanan dari pucuk pimpinan Polri itu, seharusnya diikuti oleh bawahannya sehingga citra Polri dan kepercayaan publik terhadap Polri tetap terjaga.
“Keputusan di Polda Jateng yang menghukum ringan pelaku pemerasan penerimaan Bintara Polri tersebut, berbanding terbalik dengan penanganan kasus pemerasan oleh Briptu BR di Polda Sultra yang tertangkap tangan dalam penerimaan calon siswa Bintara Polri di Polda Sultra,” katanya.
Dalam kasus itu, pelaku langsung dipecat dalam sidang kode etik profesi Polri. Jangka waktu pemeriksaan sampai sidang hanya memerlukan waktu empat bulan. Dimulai sejak bulan Juni 2022 lalu diputuskan PTDH pada 30 September 2022.
“Oleh karenanya, ‘memotong kepala ikan yang busuk’ seharusnya terus dilakukan di institusi Polri lantaran komando dari Kapolri yang telah menabuh genderang perang terhadap anggota Polri yang telah melukai Kode Etik Profesi Polri (KEPP) sangat jelas dan tegas, pecat dan pidana,” katanya.