Pada penampilannya, Hendri mengkombinasikan bunyi dari kecapi Payakumbuh sebagai representasi kaum tua dan gitar elektrik (elektro musik) sebagai representasi perkembangan digitalisasi.
Sedangkan, Muhammad Rizki membawa karya berjudul Sunah Kultural. Ia menangkap tentang fenomena kebiasaan masyarakat urban di ruang tongkrongan.
Bunyi dan suara menjadi media komunikasi semua kalangan untuk berinteraksi di ruang kota yang hiruk pikuk.
Kemudian Rizki menterjemahkan kembali dalam sajian komposisi musik interlooking. Ia menggabungkan bunyi dari elektroakustik seperti gitar dan bass dengan saluang dan talempong menjadi karya yang layak untuk disuguhkan.
Setelah penampilan ke-empat komponis, acara dilanjutkan dengan diskusi. Satu persatu, setiap komponis memaparkan terkait ide gagasan dan proses kreatif penciptaan karya. Di ruang yang sama pula, penonton bisa menanggapi karya tersebut secara langsung.
Beberapa tanggapan yang muncul dari penonton seperti tantangan menampilkan komposisi lintas genre di ruang publik yang penontonnya juga beragam. Juga masukan bagaimana ‘Buni-bunian’ bisa dilaksanakan di sekolah dengan melibatkan guru dan siswa.
Salah satu inisiator dari FKM Sumbar, Taufik Adam mengajak setiap komponis lintas genre tampil di kegiatan ini. Buni-bunian, katanya, juga merupakan bagian dari upaya untuk mencairkan jarak antar komponis yang berbeda genre. Menurutnya, genre hanya soal pilihan.
“Kegiatan ini juga bertujuan agar para komponis tidak mengeksklusifkan diri. Karya musik penting digiring kembali di ruang publik. Masyarakat penting untuk mengenal seniman dan perkembangan musik di Sumbar,” kata Taufik.
Hal menarik lainnya dari perhelatan musik Buni-bunian adalah mendorong keterlibatan bermakna para komponis perempuan.
Pada Buni-bunian pertama, ada Azura Yenli Nazrita, komponis asal Palembayan, Kabupaten Agam yang membawakan karya berjudul Duo Warih Tungga Rago.
Di Buni-bunian edisi ke-2 ada Anna Amelia Putri, komponis asal Sintoga, Kabupaten Padang Pariaman dengan judul karya Suaro Anak.
“Sebenarnya pada Buni-bunian ketiga ini, kami berencana menghadirkan komponis perempuan. Hanya saja menjelang hari H, si komponis berhalangan hadir. Harapannya pada Buni-bunian selanjutnya, keterlibatan perempuan juga makin banyak. Tidak hanya sebagai komponis tapi juga pada ruang karya lainnya,” imbuhnya. (rdr)