Imam Al-Ghazali menghargai peran akal sebagai anugerah dari Allah SWT, namun ia juga menganggap akal mempunyai batasannya dan tidak dapat mencapai pengetahuan tentang hal-hal metafisik.
Pola pikir kita harus bisa diarahkan dalam konteks yang demikian. Bahwa dalam kondisi tertentu, akal yang dianugerahi oleh tuhan itu tidak dapat menjangkau secara literal pesan esetoris Tuhan dalam suatu bencana.
Pertama, bencana adalah bentuk ujian dalam mengukur keimanan kita sebagai umat Islam. Ujian itu tentu tidak melulu hanya soal bencana, bisa saja ia berupa kenikmatan.
Ibarat ujian di sekolah atau di kantor untuk mengukur kemampuan seseorang, ujian Tuhan juga berfungsi untuk mengukur kadar keimanan kita ketika dihadapkan pada pahitnya kehidupan.
Hal sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Ankabut ayat 2-3:
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ(٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ (٣)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabut: 2-3)
Kedua, bencana yang menimpa kita harus mampu kita tempatkan dalam konteks keterikatan dengan diri kita sendiri. Terkadang bencana menjadi bentuk akibat dari sesuatu yang kita perbuat. Dengan demikian, kita bisa introspeksi diri (muhasabatun nafs) bagaimana interaksi kita dengan alam dan lingkungan.
Hal ini juga selaras dalam surah Asy-Syura ayat 30:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Barang tentu dalam membentuk pola pikir yang baik terhadap segala peristiwa bencana yang terjadi, kita diberikan keikhlasan dan menjadikannya pijakan dalam mentafakkuri kekuasaan Tuhan.
Maka dalam taraf ini, seorang muslim yang mampu mencerna pesan moral tersebut, musibah yang menimpanya akan menjadi sarana penggugur dosa yang dia perbuat. Bencana yang selama ini kita lihat sebagai kutukan, sesuangguhnya adalah bentuk kasih sayang ampunan Allah atas dosa-dosa kita.
Hal ini selaras dengan hadits Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها ـ زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ”
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (Shahih al-Bukhari 5640). (A Fahrur Rozi, ed: Nashih) (rdr/mui)