وَمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْلَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَتَصَدَّقَ حَتَّى يُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ. قُلْتُ اَلْأَصَحُّ تَحْرِيْمُ صَدَقَتِهِ بِمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ لِدَيْنٍ لَا يَرْجُو لَهُ وَفَاءً
Artinya: “Barangsiapa yang memiliki utang, atau (tidak memiliki utang namun) berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia melunasi tanggungan yang wajib baginya. Saya berkata: Menurut pendapat yang lebih sahih, haram hukumnya menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, atau (harta tersebut ia butuhkan) untuk membayar utang yang tidak dapat dilunasi (seandainya ia bersedekah).” (Imam Nawawi, Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], halaman 95).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki utang dan tidak bisa melunasinya kecuali dengan uang yang sedang ia miliki, maka tidak boleh baginya untuk bersedekah.
Termasuk, juga jika ia sedang membutuhkan uang tersebut, baik untuk dirinya sendiri ataupun orang-0rang yang menjadi tanggungjawabnya. Berbeda dengan orang yang masih memiliki harapan bisa membayar utang melalui jalur yang lain.
Contohnya, ada orang yang punya utang 100 ribu, dan ia memang hanya memiliki uang 100 ribu, hanya saja ia memiliki penghasilan di luar yang hasilnya bisa digunakan untuk melunasi utangnya, maka hukum bersedekah bagi orang seperti contoh ini diperbolehkan.
Hal ini dengan catatan, sepanjang tidak sampai mengakhirkan pembayaran utang dari tempo yang telah ditentukan dan tidak ada tagihan dari orang yang memberi utang.
Jika berakibat mengakhirkan pembayaran atau ada tagihan dari pemberi utang, maka dalam hal ini wajib untuk menyegerakan pelunasan utangnya,
وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه
Artinya: “Adapun kewajiban mendahulukan membayar utang adalah karena merupakan tanggungan wajib, maka harus didahulukan dari yang sunnah (sedekah). Sedangkan jika utangnya bisa lunas melalui harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali jika berakibat pada diakhirkannya pembayaran. Sedangkan ia wajib untuk segera melunasi utang tersebut karena adanya tagihan atau hal lainnya, maka dalam keadaan ini wajib untuk segera melunasi utangnya, dan haram bersedekah dengan harta yang akan digunakan untuk membayar utang.” (Syekh Khatib as-Sirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 122).
Kendati demikian, merujuk penjelasan Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, larangan bersedekah bagi orang yang punya utang tidaklah bersifat umum. Hal-hal kecil yang tidak berpengaruh pada adanya utang seperti roti, kue dan makanan ringan lainnya tetap disunnahkan dan dianjurkan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bersedekah bagi orang yang memiliki utang tidaklah dianjurkan, bahkan bisa berhukum haram jika utangnya sudah jatuh tempo atau diharapkan tidak adanya harta yang bisa melunasi utangnya jika ia bersedekah.
Karena itu, setiap orang harus benar-benar bijak dalam mengelola uangnya. Sedekah memang bagian dari anjuran syariat Islam dan termasuk perbuatan yang terpuji, namun menjadi kurang baik jika dilakukan oleh orang-orang yang sedang terlilit utang, atau benar-benar butuh untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. (rdr/nu)