Gamawan Fauzi
(Menteri Dalam Negeri (2009-2014), Gubernur Sumbar (2005-2009), Bupati Solok (1995-2005))
Dua hari lalu saya membaca sebuah artikel tentang uang penghargaan atau honor seorang artis. Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa seorang artis yang sangat populer mendapat uang jasanya sebagai master of ceremony (MC) sebesar Rp5,5 miliar untuk 45 menit dia bekerja.
Pada lain kesempatan saya pernah diceritakan besaran bayaran seorang artis penyanyi terkenal yang sekali diundang menghibur bisa mengeluarkan biaya hingga Rp200 juta hanya untuk 5 atau 6 lagu saja. Itu sudah termasuk biaya hotel, asisten dan pesawatnya.
Kemarin saya hadir dalam sebuah perhelatan pesta pernikahan mewah. Hadir di situ seorang biduan terkenal tanah air. Dia membawakan 4 atau 5 Iagu saja, kemudian istirahat di kamar hotel tempat acara. Tampilannya luar biasa. Berbaju glamor dan berdandan bak bidadari. Undangan mendekat ke panggung. Cucu saya tak mau ketinggalan. Sebagai milenial dia juga terpukau dengan segala tampilan sang artis.
Mulai dari gaunnya yang wah, dandanannya yang mempesona hingga Iantunan Iagunya yang sangat memanjakan telinga pendengar. Saya hanya senyum dan manggut-manggut memahami kenyataan itu. Saya berfikir. Cucu saya adalah bagian dari mode hidup yang terjadi dewasa ini, yang mungkin juga menjadi trend dunia semisal budaya Korea.
Negeri gingseng yang tiba-tiba menggeser obat herbal menjadi penjual drama, make up dan gaya hingga tak kurang dari Kiyai Makruf Amin pernah merujuknya dalam sebuah pidato beliau. Belakangan ini saya jarang sekali menonton TV, apalagi sinetron dan nyanyi. Saya jadi “ketinggalan kereta” untuk urusan sejenis itu.
Beberapa tahun Ialu, ketika saya duduk bersebelahan dengan DR. Imam Prasodjo, dosen sosiologi UI dalam acara dialog pada sebuah stasiun televisi, beliau berucap kepada saya. Di negeri ini harga goyang bebek, goyang Dumang dan goyang-goyang lainnya honornya ratusan kali harga pikiran.
Dengan menyebut nama seorang artis dangdut, beliau mengatakan bahwa honornya Rp100 juta dan kita nanti akan terima honor Rp500 ribu. Saya tak berkomentar dan hanya tersenyum. Eh.. pada saat acara usai, karyawan TV tersebut menyorongkan kuitansi dan saya baca sudah terima dari dan seterusnya honor tersebut besarannya tertulis Rp500 ribu.
Saya tak kaget lantaran sudah biasa dan memang sebesar itu nilai sebelum sebelumnya, apalagi bagi saya yang saat itu sebagai seorang pejabat, yang penting momen diskusi bisa dimanfaatkan menjelaskan pandangan, sikap atau program kelembagaan di tempat saya menjabat. Soal honor itu bukan tujuan.
Tapi dengan membaca artikel dua hari lalu itu, saya menjadi ingat ucapan Dr. Imam Prasodjo dan saya coba berfikir komperatif dan lebih substantif sebab saya juga tau besaran uang kehormatan untuk para mubalig dan ulama yang menyiram qalbu jemaah 60 menit atau Khutbah Jumat sekitar 30 menit. Saya juga tau upah buruh lepas, bekerja 8 jam seratus ribu, tukang yang terampil 8 jam bekerja Rp150 ribu dan honor dosen untuk sekali ngajar rata rata Rp350 ribu, dan sederet daftar upah/ honor/ uang lelah atau apapunlah namanya untuk berbagai profesi.