Para pengajar, dosen atau semacamnya memang beda beda untuk setiap lembaga pendidikan. Guru besar konon mendapat uang kehormatan setiap bulan Rp18 juta diluar gaji. Tapi para direktur bank dan dirut BUMN besar rata-rata mendapat gaji dll tak kurang dari Rp150 juta bahkan ada yang mencapai Rp250 juta per bulan. BUMN yang amat besar bisa mencapai Rp300 juta. Belum lagi termasuk Tantiem tahunan yang jumahnya miliaran bahkan ratusan miliar jumlahnya, tergantung laba perusahaan.
Pada jajaran birokrasi, gaji presiden tak lebih dari Rp60 juta per bulan, gubernur Rp8,7 juta dan bupati/ wali kota Rp6,2 juta. Sementara biaya kampanye yang dikeluarkan dipastikan hitungan miliar. Pernah saya menanyakan kepada salah seorang gubernur di salah satu Provinsi “kaya”. Berapa uang keluar buat biaya kampanye? Dia mengangkat satu jari telunjuknya. Saya kaget. “Seratus miliar?” tanya saya menegaskan.
Dia mengangguk. “Kenapa sebesar itu?” tanya saya. “Saya kan banyak partai yang mendukung Pak,” katanya. “Biaya kapal berlayar kan besar,” jawabnya. Saya manggut-manggut tanda paham. Belum lagi biaya alat peraga kampanye yang sangat masif.
Tapi saya tak berlarut-Iarut membandingkan sistem gaji birokrat. Dulu saya pernah menjadi bagian dari tim yang merumuskan sistem penggajian yang adil dan proporsional di lingkungan pejabat negara dari pusat sampai daerah. Drafnya sudah selesai dan dianggap final. Tapi tak mudah untuk di tanda tangani pejabat berwenang karena ributnya pasti lama. Dan yang tanda tangan pasti akan dihujat berbulan-bulan karena bisa di cap hanya memikirkan nasib pejabat, bukan nasib rakyat.
Tapi yang saya ingin bandingkan adalah honor penceramah yang memberi pencerahan dengan honor penghibur. Dua-duanya menyentuh rasa dan jiwa. Penceramah adalah orang berilmu yang bermaksud membasuh qalbu agar menjadi qalbun Salim atau jiwa yang tenang dan menuntun jalan untuk “pulang” dengan husnul khatimah, meningkatkan ketaqwaan sebagai sesuatu yang sangat mendasar serta menyempurnakan iman bagi orang yang beriman agar hidup yang singkat ini berbuah manis dengar sorga yang abadi dalam kehidupan yang sebenarnya (akhirat).
Sementara hiburan adalah hiburan. Hiburan adalah untuk kesenangan sesaat ketika lagu yang merdu itu didengar telinga dan dirasakan jiwa yang halus. Atau juga untuk memanjakan mata dari menikmati lenggang lenggok penyanyi yang di idolakan. Kadang tampilan itu membius dan menuntun pribadi hingga melupakan kesulitan hidup bagi yang kering atau menyempurnakan kenikmatan hidup bagi yang berpunya.
Kebahagian ini jangan cepat berlalu. Katanya. Tapi kenikmatan itu hanya sesaat, tak mampu membuat batin tenang. Setelah penyanyi berlalu, persoalan hidup tak akan teratasi. Kegalauan muncul kembali bagi yang sedang galau.
Apalagi juga tak memberikan sumbangan apa-apa untuk kehidupan sesudah mati. Tapi itulah fakta yang kita jumpai. Rp100 juta bersih, buat artis populer, dan Rp500 ribu buat penceramah atau da’i, sudah termasuk biaya transportasi dll.
Saya tak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Dan saya juga tak bermaksud menyudutkan orang yang membayar mahal para artis. Itu hak mereka. Tapi saya sekadar bercerita bahwa itulah fenomena kehidupan kita. Kadang-kadang karena demikian kompleksitasnya persoalan hidup, membuat kita lupa bermuhasabah.
Kadang karena berjalan terlalu jauh dan hidup terlalu panjang, membuat kita lupa akan hakekat. Sehingga sesuatu yang sederhana kita hargai berlebih, sementara sesuatu yang penting dan bernilai tinggi kita abaikan. Saya bisa juga salah. Galibnya manusia. (*)