Kelirunya Anies

Apalagi elektabilitas Prabowo tetap menguat sebagai simbol oposisi saat itu. Calon tunggal pun menjadi mustahil.

Politisi Partai Gelora, Erizal. (Foto: Dok. Istimewa)

Politisi Partai Gelora, Erizal. (Foto: Dok. Istimewa)

Oleh:

Erizal

Pilpres 2019 lalu, tak semua parpol ditarik Jokowi masuk dalam koalisinya. Tersisa 4 parpol. Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Kendati bisa saja ditambah, tapi hal itu tak dilakukan Jokowi. Disisihkan juga beberapa.

Tentu, ada juga karena kebijakan parpol itu sendiri yang tak mau mendukung Jokowi. Hanya saja, faktor “ketidakmauan” Jokowi, pastilah lebih dominan, karena dialah yang memegang kendali permainan, kekuasaan.

Apalagi elektabilitas Prabowo tetap menguat sebagai simbol oposisi saat itu. Calon tunggal pun menjadi mustahil. Bisa jadi, dengan segala data (termasuk data intelijen) yang dimilikinya, hitung-hitungan Jokowi saat itu, 4 parpol tersisa itu aman baginya, keluar sebagai pemenang.

Berbeda dengan Pilpres 2024, calon tunggal justru terbuka lebar. Kendati saat ini ada tiga Bacapres kuat, tapi peluang calon tunggal, ada. Kalau saja peluang Ganjar jadi Cawapresnya Prabowo, seperti dikatakan Puan itu terwujud.

Memang, Anies adalah antitesisnya Jokowi atau simbol oposisi saat ini. Tapi, Anies tak sama dengan Prabowo dulu. Anies justru didukung dua parpol Pemerintah, yakni PKB dan NasDem. Satu saja berbalik, gagal total.

Titik krusialnya pada PKB. Bagus, kalau PKB tetap konsisten. Tapi, DNA oposisi PKB itu belum pernah ada, dibanding Demokrat. Maka, kelirunya Anies tak mempertahankan Demokrat (AHY). Calon tunggal itu sebetulnya buruk bagi negara besar seperti Indonesia. Tapi entahlah. (*) 

Exit mobile version