Logika Fahri Dukung Gibran

Politisi Partai Gelora, Erizal. (Foto: Dok. Istimewa)

Politisi Partai Gelora, Erizal. (Foto: Dok. Istimewa)

Oleh:
Erizal

Belakangan, cuplikan podcast Fahri Hamzah dan Panel Barus di Kompos.com, viral. Fahri punya logika yang menarik, kenapa akhirnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, menguat sebagai Cawapres.

Soal rekonsiliasi dan legacy sudah lama juga diutarakan Fahri. Bahwa bersatunya Prabowo dan Jokowi itu sebuah monumen. Tak mudah sebetulnya bagi keduanya untuk bersatu. Ada banyak tembok yang dijebol, hingga keduanya seiring sejalan, serta berhasil keluar dari krisis.

Apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi ini harus dilanjutkan. Bila dihentikan atau diganti dengan kebijakan baru, yang rugi justru rakyat sendiri. Bukan apa-apa. Sebab, pembangunan itu memakai uang rakyat. Rugi, kalau terbengkalai.

Menariknya, akhirnya, simbol dari rekonsiliasi dan legacy itu, menguat pada seorang Gibran. Entah memang sengaja disetting atau hanya kebetulan belaka, hari demi hari, nama Gibran terus menguat? Dibuktikan juga melalui survei.

Betul juga, mana ada kebetulan dalam politik. Semua seperti bertemu ruas dan buku, yang akhirnya keputusan MK besok, menjadi gong terakhir, apakah Gibran bisa maju atau tidak? Sinyalnya, bisa. Bukan faktor usia, tapi karena pernah menjadi kepala daerah. Tapi, entahlah.

Ini semua karena ulah partai-partai juga. Memakai PT (Presidensial Threshold) tinggi-tinggi, padahal Pemilu serentak. Sengaja membatasi calon, calon hanya dari saku-saku mereka saja. Akhirnya, orang melirik ke Gibran. Mumpung “approval rating” Jokowi tinggi. Lu mengunci dan dikunci.

Baik Jokowi atau Gibran, berkali-kali menyatakan tak mau, karena tak pantas secara etika. Tapi karena peluang, tak ada pula aturan dilanggar, bukan tak mungkin akhirnya menyerah juga. Ini membuat lawan-lawan politik Jokowi saat ini, karena anti-Prabowo, mules perutnya. Salah sendirilah. (*)

Exit mobile version