Kisruh Bupati dan Ketua DPRD Solok, Syamsu Rahim: Jangan Seperti Kasus di Payakumbuh

Syamsu Rahim

SOLOK, RADARSUMBAR.COM-Perseteruan Bupati Solok Epyardi Asda dengan Ketua DPRD Kabupaten Solok Dodi Hendra semakin meruncing dan meluas ke berbagai sisi. Tidak hanya lagi sekadar hubungan eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPRD), tapi meluas ke berbagai masalah lain, termasuk ke ranah pidana pribadi masing-masing, bahkan mulai “menyentuh” institusi lain. Hal itu dibahas dalam Dialog Padang TV, Jumat (6/8/2021) lalu.

Hadir dalam dialog itu, Bupati Solok periode 2010-2015 Syamsu Rahim, Sekretaris DPD Partai Gerindra Sumbar Evi Yandri Rajo Budiman, Pengamat Hukum Tata Negara Charles Simabura, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Riswanto Bakhtiar, Praktisi Hukum Vino Oktavia, dan Direktur Sumbar Leadership Forum dan Research Edo Andrefson.

Menurut Syamsu Rahim, bagi yang paham regulasi dan aturan penyelenggaraan pemerintahan, ini menjadi sesuatu yang asing. Tapi, bagi yang awam dengan regulasi dan aturan penyelenggaraan pemerintahan, ini mungkin menjadi sebuah hiburan.

Menurutnya, fenomena ini merupakan cara pemahaman terhadap regulasi fungsi, hak dan kewajiban masing-masing institusi. Kemudian, kemampuan menahan diri dan menghargai eksistensi institusi lain. Menurutnya, masyarakat bingung dengan apa yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Solok. Syamsu Rahim juga mengatakan, penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Pemerintah dipimpin oleh seorang Bupati, walikota atau gubernur. Sementara DPRD dipimpin oleh seorang Ketua DPRD yang bersifat kolektif kolegial.

“Ketika mereka bisa memahami Tupoksi, hak dan kewajiban, maka tidak akan terjadi benturan. Segalanya sudah ada mal dan aturannya, tinggal bagaimana cara bermitra. Karena sifatnya bermitra, maka tidak ada istilah lebih tinggi atau lebih rendah. Bupati tidak lebih tinggi dari DPRD, demikian juga sebaliknya.

Sebagai yang bermitra, maka harus saling menghargai eksistensi yang lain. Saat ini, kedua institusi ingin memperlihatkan power dan kewenangan masing-masing. Kadang-kadang di luar aturan,” ujarnya.

Sebagai warga Kabupaten Solok dan pernah memimpin Kabupaten Solok, Syamsu Rahim mengaku sangat prihatin. “Saya selalu menyampaikan ke kedua belah pihak melalui tim-timnya, bahwa masyarakat menunggu. Apa itu visi Mambangkik Batang Tarandam. Apa yang tarandam sebenarnya, moral dan etika. Yakni moral dan etika masyarakat, pemerintahan dan tokoh masyarakat. Bicara penyelenggaraan pemerintahan, ibarat rumah tangga. Ada bapak, ibu, anak, cucu dan yang lainnya. Bapak rumah tangga itu kepala daerah, ibu rumah tangga adalah DPRD. Bagaimana bisa harmonis jika tidak sejalan. Saya berharap, jika sesat di ujung jalan, maka harus kembali ke pangkal jalan. Belum terlambat,” ungkapnya.

Syamsu Rahim menegaskan, jabatan Bupati bukan lagi sebagai penguasa, bukan raja, tapi adalah pelayan masyarakat. Yang jadi raja itu adalah rakyat. Menurutnya, jika Bupati merasa sebagai penguasa, sama dengan orde baru. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah. Reformasi membuat semuanya transparan dan terbuka.

“Dua-duanya tidak berbasis pemerintahan. Tidak berlatar belakang hukum dan administrasi. Inti administrasi adalah organisasi, inti organisasi adalah kerja sama dan inti kerja human relationship. Ketika hubungan kemanusiaan harus saling menghargai. Tidak ada mediator dan tidak mau dimediasi. Karena tidak mau menerima masukan orang lain. Dua-duanya sama,” ungkapnya.

Walikota Solok periode 2005-2010 itu, berharap kejadian di Kabupaten Solok, jangan sampai terjadi seperti di Payakumbuh. Yakni saat Darlis Ilyas jadi Walikota dan Chin Star jadi Ketua DPRD Payakumbuh. APBD tidak disahkan dua tahun. Yang rugi masyarakat, bukan pribadi mereka.

Kita adalah orang Minang yang beretika. Jalankan etika pemerintahan, implementasikan norma dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku. Ketika kesadaran terhadap kekeliruan dari Bupati dan Ketua DPRD tidak ada, maka akan semakin hari semakin panas. Tentu ini tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Contoh, penggembokan Rumah Dinas Ketua DPRD, ada berbagai kemungkinan. Tentu ada yang menyuruh, bahkan bisa juga ini sandiwara Ketua DPRD,” ujarnya. (*/rdr)

Exit mobile version