“PAHO, Pan American Health Organization dan WHO membuat suatu technical note sebagai lanjutan dari apa yang dilaporkan oleh Skotlandia, bahwa kita masih fokus pada penelitian epidemiologi, laboratorinya, klinikal dan farmasinya, yang saat ini masih dianggap terlalu sedikit hasilnya, sehingga belum bisa mengidentifikasi etiologinya,” ujar Nenny.
Dokter anak memang memiliki perhatian besar terhadap kasus-kasus ini, karena hepatitis akut tercatat diderita anak di bawah usia 16 tahun. Nenny, yang juga anggota Pokja Hepatitis Pimpinan Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) berharap, para ahli segera menemukan jawaban persoalan ini.
“Harapannya memang di minggu-minggu ini, kita sudah bisa tahu sehingga kita bisa membuat suatu panduan, bagaimana untuk mencegah secara benar, kemudian tata laksananya, action control-nya seperti apa,” ujarnya.
Penting bagi Indonesia juga untuk segera mengetahui penyebab penyakit ini, sehingga mengerti situasinya. Dengan begitu, pemerintah bisa mengambil kebijakan penanganan secara lebih baik.
Di luar itu, konsentrasi masyarakat saat ini sebaiknya pada pencegahan. Karena selama ini hepatitis dikenal menular melalui oral, maka tindakan pencegahan paling baik adalah menghindari kemungkinan transmisi ludah dari orang lain.
Kasus Hepatitis Akut
Dalam diskusi yang sama, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu menyebut hingga 13 Mei, Indonesia mencatatkan 17 kasus yang dicurigai sebagai hepatitis akut.
“Sejak ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo, tiga kasus pada 27 April, per 13 Mei kemarin sudah dilaporkan di sistem kami, ada 32 kasus. Namun, dari 32 kasus itu 15 orang dikeluarkan karena tidak memenuhi definsi operasional WHO, terutama untuk umurnya, lebih dari 16 tahun,” ujar Maxi.
Dari 17 kasus yang ada, baru satu kasus yang dinyatakan probable sesuai panduan WHO. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, tujuh kasus dikeluarkan dari daftar karena diketahui penyebabnya berbeda. Dari sisa sepuluh kasus, saat ini statusnya adalah satu probable dan sembilan pending. Status pending bermakna menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut.
Menurut catatan Kemenkes, hampir semua kasus mengalami gejala berupa mual, nafsu makan hilang, demam, muntah, kemudian pada tahap berikut terjadi perubahan warna feses, urin berwarna seperti teh dan gatal di kulit, diare akut serta sesak nafas.
Kemenkes telah menyusun pedoman penanganan untuk mencegah bertambahnya kasus. Seluruh fasilitas kesehatan diminta memantau dan melaporkan kasus-kasus dengan sindrom jaundis ke dalam sistem yang sudah disediakan Kemenkes.
“Ada enam provinsi yang sindrom jaundice akut ini trennya meningkat dalam 2-3 minggu terakhir, dan karena itu kita pantau mingguan,” tambah Maxi.
Sindrom jaundice adalah kondisi di mana semburat kekuningan muncul pada kulit, selaput lendir, dan bagian putih mata. Masyarakat secara umum mengenalnya sebagai penyakit kuning. Enam provinsi dengan sindrom jaundice tinggi saat ini adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kepualauan Riau dan Sumatera Barat. Maxi mengatakan, 76 persen sindrom jaundice ada di Jawa Tengah dan karena itu kerja sama dilakukan sepenuhnya dengan dinas kesehatan setempat. (rdr/liputan6.com)