Sementara itu, pengacara tersangka HW dari Kantor Hukum RJ Law Firm Rahmi Jasim didampingi Erlina Eka Wati mengatakan bahwa kliennya merasa dizalimi dalam persoalan kegiatan pembangunan RSUD itu.
Pasalnya, kata dia, kliennya menjabat sebagai Direktur RSUD atau pengguna anggaran ketika satu tahun proyek itu berjalan, yakni pada tahun 2019 dan hanya 3 bulan menjabat sebagai PPK.
Menurut dia, kliennya diminta mantan Bupati Pasaman Barat Yulianto untuk menjadi Direktur RSUD dan mantan Sekretaris Daerah Yudesri. “Saat itu mereka berjanji akan menunjuk PPK orang teknis karena klien kami bukan orang teknis tetapi hanya spesialis ortopedi,” katanya.
Setelah jabatan itu diterima, lanjut dia, janji penempatan orang teknis tidak juga dikabulkan, dan akhirnya kliennya menjadi PPK setelah rapat bersama.
Pada saat pencairan uang termen pembangunan, kliennya juga terpaksa karena diancam oleh pihak perusahaan karena akan hentikan pembangunan. “Ketika itu, klien kami minta audit eksternal terhadap bobot pekerjaan kepada pimpinan saat itu. Namun, tidak dikabulkan,” katanya.
Berdasarkan itu dan merasa rumah sakit itu penting untuk masyarakat, termen lebih dari 48 persen dicairkan pada tanggal 13 November 2019.
Untuk langkah ke depan, pihaknya akan meminta penangguhan penahanan karena kliennya merupakan satu-satunya spesialis ortopedi di Pasaman Barat.
Dalam kasus ini, pihak kejaksaan agar memanggil saksi mantan bupati, mantan sekda, bendahara pengeluaran, tata usaha RSUD, dan tim yang hadir rapat saat pembahasan mengenai bobot termen.
“Kami tegaskan klien kami tidak menerima uang, dan kami ingin persoalan ini dibuka terang benderang karena klien kami hanya korban. Kami berharap para pimpinan klien kami saat itu dipanggil oleh pihak kejaksaan,” katanya. (rdr/ant)