Selain itu, menurutnya, rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga menjadi pembahasan yang serius dalam RUU Sisdiknas. Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberikan akses kepada mayoritas anak usia wajib belajar dari SD hingga SMA.
“Sayangnya kita tidak banyak mengalami kemajuan dalam hal memastikan bahwa setelah anak-anak berada di sekolah mereka betul-betul punya kesempatan untuk belajar, bertumbuh dan berkembang daya nalar, kreativitas dan karakter,” kata Nino.
“Salah satu akar dari itu adalah kultur yang birokratis yang mendominasi satuan pendidikan dan sistem pendidikan kita secara umum,” imbuhnya.
Mendikbudristek Nadiem Makarim berjanji lewat RUU Sisdiknas, seluruh guru bisa menerima TPG tanpa harus dibuktikan dengan sertifikasi melalui program PPG yang waktu tunggunya membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
“Jika RUU Sisdiknas ini diloloskan, mereka akan bisa langsung menerima tunjangan tanpa harus menunggu proses sertifikasi dan mengikuti program PPG yang antreannya panjang,” kata Nadiem dikutip dari siaran kanal YouTube Kemendikbud RI, Senin (12/9).
Nadiem melanjutkan selama ini ketentuan tunjangan terpisah, sehingga tunjangan profesi dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen justru malah membuat hanya segelintir guru dengan syarat tertentu yang dapat tunjangan kesejahteraan.
Ia menyebutkan setidaknya 1,3 juta guru dijamin mendapatkan TPG berdasarkan UU tersebut. Sementara sekitar 1,6 juta yang lain belum bisa menerima TPG lantaran terhalang aturan sertifikasi yang diwajibkan UU Guru dan Dosen tahun 2005 itu.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mempertanyakan keseriusan Kemendikbudristek dalam memberikan tunjangan profesi guru. Mereka menilai penghapusan pasal terkait tunjangan profesi guru dalam draf RUU Sisdiknas justru menimbulkan kekhawatiran bagi tenaga pendidik.
PGRI mendesak pemberian tunjangan profesi guru diatur secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas, bukan malah dihapuskan. (rdr/cnnindonesia.com)