Epyardi Asda bergabung dengan PPP pada 2003 dan menjadi Anggota DPR RI selama tiga periode (2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019). Sementara Dendi menjadi Anggota DPRD Kabupaten Solok tiga periode dari partai yang sama, yakni periode 2009-2014, 2014-2019 dan 2019-2024.
“Tentu cukup paham lah dengan karakter, kepribadian, serta komitmen beliau. Masa 15 tahun di level nasional, tentu bukan waktu yang sebentar. Banyak dinamika yang telah dilalui dan banyak pula yang sudah diperbuat untuk masyarakat. Tapi jangan sampai hal itu justru rusak dan tak berarti saat mengabdi di kampung sendiri,” ujarnya.
Terkait dengan “insiden” dengan Epyardi Asda pada Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Solok, Jumat (24/9/2021), Dendi menyebut dirinya fokus menegakkan aturan dan etika dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Terutama dalam sidang yang merupakan agenda DPRD dan kapasitas Bupati dan Pemkab Solok adalah sebagai undangan di Sidang Paripurna tersebut.
“Tadi itu (Sidang Paripurna) ada dua hal yang saling berkaitan. Pertama status Dodi Hendra sebagai Ketua DPRD usai adanya Surat dari Sekda Provinsi Sumbar, dan kedua, pengesahan APBD Perubahan 2021. Status Dodi Hendra harus dijelaskan dulu, karena beliau yang akan menandatangani pengesahan APBD Perubahan 2021.”
“Sebab, jika tidak, APBD Perubahan akan ditolak dalam verifikasi oleh Gubernur Sumbar, karena Gubernur hanya mengakui Dodi Hendra sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok,” ujarnya.
Ketua DPRD Kabupaten Solok, Dodi Hendra mengungkapkan, kericuhan tersebut terjadi saat sidang paripurna dengan agenda laporan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Solok terhadap hasil pembahasan APBD Perubahan. Meski begitu, kata Dodi, untuk menghindari kericuhan berlanjut, pihaknya menggelar sidang internal setelah kericuhan itu.
“Jadi begini, tadi kan ada usulan dari kawan-kawan beberapa fraksi, yang mengatakan tentang legalitas DPRD, jadi begitu alot perdebatannya sehingga timbul lah pak bupati bersuara,” kata Dodi. (rdr)