“Artinya pemilik hari pembalasan. Maka, raja dari segala raja itu hanya Allah. Tunduk, patuh, merdeka atas kerajaan yang lain. Hanya Allah yang maha kuasa,” kata Buya Amirsyah.
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Artinya, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Maka, kita sebagai umatnya, memohon hanya kepada Allah, bukan kepada gunung, laut, pohon, dengan paham animisme dan dinamisme, bukan pula kepada raja. Tetapi hanya kepada Allah,” tegasnya.
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ ۙ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ
“Artinya, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,” ujarnya.
“Lihatlah sekarang, betapa kemerdekaan ini masih jauh dari apa yang kita pahami dalam Al-fatihah itu,” ungkapnya.
Beliau juga menekankan bahwa kekacauan yang terjadi pada saat ini dikarenakan hakikat kemerdekaan yang sudah mulai hilang.
Hal tersebut juga merupakan dampak dari manusia yang tidak bisa menahan hawa nafsu. Karena, sesungguhnya musuh yag paling nyata adalah hawa nafsu yang ada di dalam diri kita yang tidak bisa kita tahan dan tidak bisa kita kendalikan.
“Maka, jika ada pertanyaan, siapa sebenarnya musuh yang tidak kelihatan? Jawabannya adalah hawa nafsu kita, diri kita sendiri. Itulah musuh yang nyata. Jika ada kasus korupsi, musuh yang nyata itu adalah nafsunya,” kata dia.
“Oleh karena itu, mari setiap saat kita jadikan Al-Fatihah ini sebagai salah satu prinsip kemerdekaan kita supaya terlepas dari perbudakan hawa nafsu. Karena perbudakan hawa nafsu lah yang membuat manusia tidak merdeka,” tutupnya. (rdr/mui)