JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Kehadiran telepon seluler pintar atau gawai di era teknologi informasi saat ini membawa dampak dualitas yang harus disikapi secara kritis.
Satu sisi, gawai banyak membantu kita menangani dan menyelesaikan berbagai masalah, seperti mencari informasi dan mendapatkan panduan dalam mengerjakan atau membuat sesuatu.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020 mengungkapkan bahwa 76,8 persen orang tua mengizinkan anaknya menggunakan telepon pintar selain untuk belajar.
Meski demikian, mayoritas orang tua selalu mengingatkan bahaya negatif kepada anak-anaknya tentang kecanduan gawai.
Gawai memang bisa menghadirkan masalah jika tidak digunakan secara proporsional. Semua bisa menjadi kecanduan terhadap alat komunikasi canggih itu.
Salah satu keadaan yang perlu diwaspadai adalah penggunaan gawai oleh anak tanpa peduli pada batasan waktu. Bahkan, gawai itu tetap berada di genggaman anak saat makan.
Sekilas, memberi fasilitas anak dengan bermain gawai saat makan itu sangat membantu, karena si anak biasanya menjadi lahap menghabiskan makanan.
Kalangan medis, terutama yang mendalami spesialisasi kejiwaan, mengingatkan dampak negatif ketika anak dibiarkan bermain gawai sambil makan.
Rasa puas orang tua melihat anaknya lahap menghabiskan makanan ketika dilakukan sambil bermain gawai, muncul karena memandang si anak hanya sebagai onggokan daging membungkus tulang yang hanya memerlukan asupan makanan.
Padahal, ada jiwa dalam diri si anak yang juga harus mendapatkan asupan gizi, yang perkembangannya juga harus dilalui dengan proses latihan untuk mencapai kematangan. Saat makan, si anak juga sedang berproses mematangkan berbagai aspek dalam dirinya.
Pada “ritual” makan itu melibatkan berbagai sistem sensorik pada diri anak, seperti pengecapan, penciuman, penglihatan, pembauan, termasuk gerakan tangan dan mulut saat mengunyah.
Ketika sistem sensor itu tidak mendapat perhatian dari jiwa anak saat makan sambil bermain gawai, maka ada memori yang lepas dari ikatan kognitif dan bawah sadar.
Sehingga aspek-aspek pembelajaran dari proses memasukkan makanan ke mulut, mengunyah, hingga menelan, itu tidak tertanam.
Memori bahwa makan dengan lauk atau sayur tertentu itu terasa enak dengan sensasi rasa tertentu menjadi tidak berfungsi alias tidak dirasakan. Demikian juga dengan bau dari unsur yang dimakan tidak akan terikat dalam memorinya.
Padahal, proses makan itu adalah gabungan dari banyak aspek dari jiwa dan fisik. Selain itu, dampak yang ditimbulkan akibat anak makan sambil bermain gawai itu adalah obesitas.
Hal itu terjadi karena saking fokusnya pada permainan di gawai, si anak tidak mampu mengontrol lambungnya yang sebetulnya sudah kenyang. Apalagi, dengan kebiasaan bermain gawai itu membuat gerakan tubuh si anak menjadi terbatas.