Asosiasi Masyarakat Sipil Kabupaten Solok Desak DPRD Gunakan Hak Interpelasi

Asosiasi Masyarakat Sipil Kabupaten Solok terdiri dari gabungan masyarakat sipil di beberapa Nagari Kabupaten Solok.

Aksi unjuk rasa di Kompleks Pemerintahan Kabupaten Solok. (Foto: Dok. Istimewa)

Aksi unjuk rasa di Kompleks Pemerintahan Kabupaten Solok. (Foto: Dok. Istimewa)

AROSUKA, RADARSUMBAR.COM – Asosiasi Masyarakat Sipil Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) mendesak Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) setempat untuk menggunakan hak interpelasi yang dimiliki.

Hak interpelasi, menurut kelompok masyarakat itu, harus digunakan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dipegang oleh Bupati Solok saat ini, Epyardi Asda.

“Permintaan kami hanya satu, gunakan hak interpelasi terkait dengan kebijakan Bupati (yang diduga dinilai merugikan),” kata perwakilan masyarakat, Nofriyaldi, Kamis (28/12/2023) siang.

Nofriyaldi mengatakan, aspirasi itu bukan hanya datang dari dirinya secara pribadi.

Ia sesumbar mengeklaim bahwa Asosiasi Masyarakat Sipil Kabupaten Solok terdiri dari gabungan masyarakat sipil di beberapa Nagari Kabupaten Solok.

“Lebih dari 1.000 orang menyampaikan aspirasi (hak interpelasi) itu kepada DPRD Kabupaten Solok,” katanya.

Sebelumnya, aksi dua unjuk rasa mewarnai lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) sepanjang Kamis (28/12/2023) siang.

Unjuk rasa pertama dilakukan oleh masyarakat yang mengatasnamakan Asosiasi Masyarakat Sipil Kabupaten Solok melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Solok.

Aksi demo tersebut dilakukan sejak Kamis (28/12/2023) siang. Tidak hanya masyarakat, terlihat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dodi Hendra dan sejumlah wakil rakyat lainnya juga ikut unjuk rasa.

Mereka melakukan aksi unjuk rasa terhadap sang Bupati, Epyardi Asda dan menyampaikan beberapa tuntutan.

Di antaranya, soal pemberhentian Wali Nagari Gantung Ciri hingga persoalan Bukit Cambai yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan pribadi.

“Masyarakat juga menduga adanya dugaan intervensi penguasa kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dan memobilisasinya agar berpihak kepada salah satu calon tertentu,” kata Ketua Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) DPRD Kabupaten Solok, Hafni Hafiz saat dihubungi Radarsumbar.com via seluler.

Hafni mengatakan, masyarakat meminta penjelasan dari Bupati terkait persoalan yang terjadi belakangan ini.

“Bahkan ini juga ada demo tandingan yang memfitnah kami dengan tuduhan tak berdasar, jadi demo ini ada dua kubu, yang satu lagi (pro Epyardi Asda) itu menamakan diri Solidaritas Nagari Solok (Solina),” katanya.

Sebagai wakil rakyat, kata Hafni, dirinya berkewajiban menerima dan menampung semua aspirasi yang datang dari masyarakat.

“Namun, kami juga akan laporkan ke polisi secara kelembagaan terkait fitnah yang dialamatkan kepada kami,” katanya.

Sebelumnya, masyarakat di Kabupaten Solok juga melakukan aksi unjuk rasa kepada Bupati Solok, Epyardi Asda.

Unjuk rasa itu dilakukan buntut dari pemecatan Wali Nagari Gantung Ciri, Hendri Yuda oleh Epyardi Asda.

Masyarakat juga mendesak DPRD Kabupaten Solok untuk mengembalikan jabatan Hendri Yuda selaku Wali Nagari Gantung Ciri.

Pada tempat yang sama, aksi unjuk rasa ke lembaga legislatif di Kabupaten Solok juga dilakukan oleh kelompok masyarakat bernama Solidaritas Nagari Solok (Solina).

Aksi itu dilakukan tak berjauhan dari kubu lainnya.

Namun, tuntutan mereka adalah meminta DPRD Kabupaten Solok bertanggung jawab atas penggelembungan (markup) uang perjalanan dinas yang terjadi sejak tahun 2019 hingga 2022.

“Hari ini kami sudah sampaikan bahwa kami punya tuntutan ke DPRD Kabupaten Solok. Aksi ini merupakan tuntutan penjelasan markup dan fiktif perjalanan dinas sejak tahun 2019 hingga 2022, 4 tahun berturut-turut itu terjadi, artinya terjadi pembiaran,” kata Koordinator Aksi, Arisvan Bakhtiar.

Arisvan mengatakan, tindakan memalukan yang diduga dilakukan oleh anggota DPRD itu merupakan persoalan moral, etika, dan sosial yang harus diluruskan.

Bahkan, Arisvan menyebut bahwa konstruksi atau cara berfikir anggota DPRD Kabupaten Solok telah salah atau keliru.

“Mereka harus meminta maaf kepada 74 nagari se-Kabupaten Solok, seandainya ini tidak dilaksanakan, kami akan aksi lebih banyak lagi, kami akan tembus barikade, kami akan lakukan caranya, penindasan harus dilawan,” katanya.

Arisvan mengatakan, tuntutan soal perjalanan fiktif yang dilakukan oleh 33 dari 35 anggota DPRD Kabupaten Solok itu terbukti dan ada catatan atau temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Cek saja. Masih ada beberapa anggota DPRD Kabupaten Solok yang belum mengembalikan uang, kami tidak membicarakan orang, tapi membicarakan kelembagaan,” katanya.

Dirinya menghormati proses hukum berjalan dan meminta polisi menegakkan supremasi hukum.

“Kami sudah gerah. Tahun 2022 ini sekitar 33 dari 35 orang, ini bukan soal mengembalikan, ini soal moral, etika, sosial. Bukan hari ini saja terjadi, ada temuan Rp1 miliar, tahun berikutnya Rp300 juta, kemudian Rp800 juta, sekarang fantastis Rp5,7 miliar. Kami meminta masyarakat agar tak memilih mereka lagi di Pemilu 2024, kami tak lihat dari partai mana saja,” katanya.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Solok, AKBP Muari mengatakan, pihaknya mengerahkan 380 personel untuk mengamankan dua aksi unjuk rasa tersebut.

“Kami turunkan 380 personel, 180 dari Polres, 100 dari Sabhara Polda Sumbar dan 100 dari Brimob. Kami tampung siapa saja yang hendak menyalurkan aspirasinya (dengan surat tanda terima pemberitahuan),” katanya.

Ketika disinggung soal penyelewengan keuangan negara yang diduga dilakukan secara berjamaah oleh anggota DPRD Kabupaten Solok, Muari mengatakan bahwa proses penanganannya memiliki mekanisme hukum tersendiri.

Kami belum mengetahui adanya laporan penyelewengan anggaran baik oleh DPRD atau Pemkab, kalau pun ada, ada mekanisme sendiri, kami menunggu hingga Februari, sebelum Februari sudah dikembalikan, mereka dinyatakan sudah mengembalikan,” katanya.

Namun, pihaknya hanya akan menindaklanjuti laporan yang mengarah ke ranah pidana, bukan perdata.

“Kalau perdata silakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tapi kalau pidana kami akan tindaklanjuti,” tuturnya. (rdr)

Exit mobile version