Oleh: Two Efly – Wartawan Ekonomi
“Sakarlut”. Sakarlut adalah akronim dari Sakarek Ula Sakarek Baluik. Tak jelas wujud dan bentuknya seperti apa. Si upiak indak, sibuyuang tido. Kamari tanggung dan kamari bedo. Gray Areakata orang bijak, au ah gelap kata anak milineal, he he he.
Realita itulah yang ditemukan atas pemberlakukan pemegang saham terhadap Bank Nagari. Secara bentuk dan badan hukum Bank Nagari ini tak jelas bentuknya apa. Dikatakan Perseroan Daerah tidak, dikatakan Perseroan Terbatas murni juga tidak.
Dimana ketidaksesuaiannya? Kalau Bank Nagari masuk dalam kelompok Perseroan Daerah otomatis satu dari 21 pemegang saham seri A yang ada saat ini mustilah ada kepemilikan sahamnya mencapai 51 persen. Sebab, begitulah amanat utama dari PP 54 Tahun 2017. Tak percaya buka dan bacalah Pasal 6 butir 2 PP 54/2017. Pasal ini jelas dan tegas mengatakan, “Dalam hal BUMD yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2) dan angka 4), kepemilikan saham harus dimiliki oleh salah satu daerah lebih dari 51% (lima puluh satu persen).
Adakah sebanyak itu? Pasti tidak. Saat ini komposisi saham pada Bank Nagari terdistribusi kepada 21 pemegang saham Seri A. Dari 21 pemegang saham Seri A tersebut tak ada satupun besaran sahamnya yang mencapai 51 persen. Terdekatnya hanya Pemprov Sumbar dengan kepemilikan saham 31 persen. Sedangkan satu daerah lagi berkisar diangka 11 Persentase (Tanah Datar-red). Sementara 19 pemegang saham lainnya hanya memiliki saham berkisar antara 1,7 persen sampai dengan 7,5 persen.
Secara pondasi usaha (kepemilikan modal-red) bentuk Perseroan Daerah sudah tak bisa disematkan lagi. Terkecuali ada satu diantara 21 pemegang saham yang mau dan sanggup menambahkan modal kembali hingga menjadi 51 persen. Artinya, jika modal Bank Nagari saat ini lebih kurang Rp 3,2 Triliun maka sebanyak Rp 1,6 Triliun dimiliki oleh salah satu Pemegang Saham seri A.
Jika itu menjadi tanggungjawab Pemprov Sumbar maka Pemprov Sumbar wajib menyetor modal kembali sebanyak Rp 1,1 Triliun. Pasalnya, saat ini modal Pemprov Sumbar baru sebesar Rp 550 Miliar. Itupun modal disetor yang sudah mengakumulasi dari awal berdirinya Bank Nagari sampai saat ini (akumulasi selama 60 tahun-red).
Sanggupkah Pemprov menambahkan Rp 1,1 Triliun? Rasanya dengan anggaran terbatas akibat pandemic ini tidak akan ada pemegang saham yang mampu melakukan itu. Kalau memaksakan diri juga tak ubahnya menjerumuskan diri.
Kini dua tahun sudah pasca memilih menjadi Perseroda. Kewajiban untuk menyetorkan saham sebagaimana amanat PP 54/2017 tak kunjung terlaksana. Jangankan untuk menaikan menjadi 51 persen, mempertahankan komposisi 31 persen saja Pemprov Sumbar sudah kewalahan. Ini dipicu beberapa pemegang saham kembali menambahkan sahamnya.
Sudahlah jangan memaksakan diri juga. Ini jelas kekeliruan bersama dimasa lalu. Kembali sajalah seperti sebelumnya. Kembalikan lagi mekanisme sesuai undang undang perseroan terbatas. Jangan kebiri juga hak hak pemegang saham yang lain. Ingat, pemegang saham seri A saat ini tidaklah menggunakan dana pribadi atau kelompoknya. Modal pemkab/pemko di Bank Nagari itu adalah dana APBD dan harus dipertanggungjawabkan kepada public.
“Marepet Repet”
Seminggu ini publik Bank Nagari dibuat eboh. Pemegang saham pengendalinya “marepet repet” diluar panggung. Bola yang semestinya bergulir dilapangan disipak karehnya ke tribun penonton. “Tendangan pisang” ini sontak saja membuat penonton yang duduk manis di tribun menjadi panik.
Kenapa Gubernur marepet repet? Usut punya usut ternyata ada masukan tak tepat yang dibisikan oleh “tukang sorak sorainya” yang selama ini selalu “menyanyikan” lagu konversi. Padahal, kebijakan strategis bisnis itu sedang berproses dan Gubernur selaku pemegang saham pengendalipun sedang memaksimalkan proses tersebut.
Secara bisnis bank, “marepet repet” Gubernur itu jelas tak berguna dan justru merugikan Gubernur itu sendiri. Selain menimbulkan kesan bahwa pemegang saham pengendali tak memahami kewenangannya, Gubernurpun terkesan tak arif dan berkomunikasi. Pemegang saham pengendali harus tau dimana dan kapan harus berbicara tentang Bank Nagari.
Penulis melihat itu jelas blunder. Mau ditinjau dari sudut manapun “repetan” gubernur itu jelas tak layak dan tak patut. Penulis yakin, Gubernur selaku pemegang saham pengendali arif dan bijak dalam bersikap. Apalagi, apa yang ditegaskan oleh Gubernur itu adalah untuk internal ASN setelah sholat subuh berjemaah di Masjid Raya Sumbar.
Artinya, ada oknum ASN yang dengan sengaja melemparkan “bola panas” itu keluar dari audiens nya. Bisa saja dimata oknum ASN itu “repetan” Gubernur itu sangat menarik, namun sang oknum ASN lupa kalau itu justru akan menjerumuskan Gubernur. Oknum ASN itu lupa dampak dan resiko “repetan” Gubernur tersebut lembaga keuangan sangatlah besar.